Artikel
Galeri
19.50
Semua Akan Indah Pada Waktunya
Selasa, 10 Januari 2012
00.24
MENGAPA KITA HARUS MENGHAFAL AL-QUR'AN?
Pengertian menghafal ( tahfizh)
Menghafal Al-Qur’an terdiri dari dua kata, yaitu kata “menghafal” dan “Al-Qur’an”. Dalam kamus besar bahasa indonesia, pengertian menghafal adalah berusaha meresapkan kedalam fikiran agar selalu ingat. Menurut Zuhairini dan Ghofir, menghafal adalah suatu metode yang
digunakan untuk mengingat kembali sesuatu yang pernah dibaca secara benar seperti apa adanya. Metode tersebut banyak digunakan dalam usaha untuk menghafal Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Al-Hifzh secara etimologi adalah menjaga, memelihara atau menghafalkan. Sedang Al-Hafizh adalah orang yang menghafal dengan cermat, orang yang selalu berjaga-jaga, orang yang selalu menekuni pekerjaannya. Istilah Al-Hafizh ini dipergunakan untuk orang yang hafal Al-Qur’an tiga puluh juz tanpa mengetahui isi dan kandungan Al-Qur’an. Sebenarnya istilah Al-Hafizh ini adalah predikat bagi sahabat Nabi yang hafal hadits-hadits shahih (bukan predikat bagi penghafal Al-Qur’an). Hifzh diartikan memelihara atau menjaga dan mempunyai banyak idiom yang lain, seperti si-fulan membaca Al-Qur’an dengan kecepatan yang jitu (zhahru al-lisan) dengan hafalan di luar kepala (zhahru al-qolb). Baik kata-kata zhahru al-lisan maupun zharu al-qolb merupakan kinayah (metafora) dari hafalan tanpa kitab, karena itu disebut “istizhahrahu” yang berarti menghafal dan membacanya di luar kepala. Dalam kitab ini, menghafal Al-Qur’an, memeliharanya serta menalarnya haruslah memperhatikan beberapa unsur pokok sebagai berikut:
a. Menghayati bentuk-bentuk visual, sehingga bisa diingat kembali meski tanpa kitab.
b. Membaca secara rutin ayat-ayat yang dihafalkan.
c. Penghafal Al-Qur’an dituntut untuk menghafal secara keseluruhan baik hafalan maupun ketelitian.
d. Menekuni, merutinkan dan melindungi hafalan dari kelupaan.
Langkah-langkah menghafal
Ada empat langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan metode ini, antara lain:
a. merefleksi, yakni memperhatikan bahan yang sedang dipelajari, baik dari segi tulisan, tanda bacannya dan syakalnya.
b. mengulang, yaitu membaca dan atau mengikuti berulang-ulang apa yang diucapkan oleh pengajar.
c. meresitasi, yaitu mengulang secara individual guna menunjukkan perolehan hasil belajar tentang apa yang telah dipelajari.
d. retensi, yaitu ingatan yang telah dimiliki mengenai apa yang telah dipelajari yang bersifat permanen.
Menurut Suryabrata, istilah menghafal disebut juga mencamkan dengan sengaja dan dikehendaki, artinya dengan sadar dan sungguh-sungguh mencamkan sesuatu. Dikatakan dengan sadar dan sungguh-sungguh, karena ada pula mencamkan yang tidak disengaja dalam memperoleh suatu pengetahuan. Menurut beliau, hal-hal yang dapat membantu menghafal atau mencamkan antara lain:
a. Menyuarakan dalam menghafal. Dalam proses menghafal akan lebih efektif bila seseorang menyuarakan bacaannya, artinya tidak membaca dalam hati saja.
b. Pembagian waktu yang tepat dalam menambah hafalan, yaitu menambah hafalan sedikit demi sedikit akan tetapi dilakukan secara kontinu.
c. Menggunakan metode yang tepat dalam menghafal, antara lain:
1) Metode keseluruhan/metode G (Ganzlern methode), yaitu metode menghafal dengan mengulang berkali-kali dari awal sampai akhir,
2) Metode bagian/metode T (Teilern methode), yaitu menghafal bagian demi bagian sesuatu yang dihafalkan, dan
3) Metode campuran/metode V (vermittelendelern), yaitu menghafal bagian-bagian yang sukar terlebih dahulu selanjutnya dipelajari dengan metode keseluruhan.
Definisi Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau yang dibaca. Kata Al-Qur’an diambil dari isim mashdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu: maqru’ (yang dibaca). Menurut istilah ahli agama Islam, Al-Qur’an ialah “nama bagi kalamullah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad Saw, yang ditulis dalam mushaf,” Definisi Al-Qur’an menurut sebagian ulama ahli ushul adalah: “firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw yang bersifat mukjizat (melemahkan) dengan sebuah surat dari padanya, dan beribadat bagi yang
membacanya”. Sebagian ahli ushul juga mendefinisikan: Al-Kitab (Al-Qur’an) adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad dengan bahasa arab untuk diperhatikan dan diambil pelajaran oleh manusia, yang dinukilkan (dipindahkan) kepada kita dengan khabar
mutawatir, yang ditulis dalam mushaf, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas”. Dalam tafsir Al-Munir, Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan pengertian Al-
Qur’an sebagai berikut: Al-Qur’an adalah kitab Allah yang melemahkan, yang diturunkan kepadan nabi Muhammad Saw dengan lafaz bahasa arab, yang tertulis dalam lembaran-lembaran, membacanya dianggap ibadah, yang dipindahkan dengan mutawatir, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa menghafal Al-Qur’an merupakan usaha dengan sadar dan sungguh-sungguh yang dilakukan , untuk mengingat-ingat dan meresapkan bacaan kitab suci Al-Qur’an yang mengandung mukjizat kedalam fikiran agar selalu ingat, dengan menggunakan metode dan strategi tertentu.
Hakikat menghafal
Al-Hifzh (hafalan) adalah lawan dari lupa, yaitu selalu ingat dan sedikit lupa. Penghafal adalah seorang yang menghafal dengan cermat dan termasuk sederetan kaum yang menghafal oleh sebab itu para penghafal ( hafizh) Al-Qur’an mempunyai kedudukan yang istimewa dihadapan Allah Swt. Kata-kata hifzh dalam Al-Qur’an dapat berarti banyak hal yang sesuai dengan pemahaman konteks. Diantaranya memelihara dan menjaga. Firman Allah:“Dan kami akan dapat memelihara saudara kami karena seseungguhnya Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan dia adalah Maha Penyanyang diantara para penyayang ( Yusuf 65)”, “ dan mereka yang senantiasa menjaga shalat( Al-Mukminun 5). Atau menahan diri dari yang tidak dihalalkan oleh Allah. Allah berfirman: “ Dan kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya ( Al-Anbiyat :32).”Ibnu Madzur berkata bahwa al-hifzh adalah orang yang selalu berjaga-jaga yaitu orang yang selalu menekuni pekerjaanya, dalam Q.S (Al-Baqarah: 238) Artinya: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.”
Penghafal Al-Qur’an dan penghafal-penghafal lainnya
Ada dua perkara asasi yang membedakan antara penghafal Al-Qur’an, penghafal al-hadits, penghafal syair-syair, mutiara-mutiara hikmah, tamtsil, teks-teks susastra, dan lain-lainnya yaitu:
1. Penghafal Al-Qur’an dituntut untuk menghafal secara keseluruhan, baik hafalan maupun ketelitian, sebab itu tidaklah disebut penghafal yang sempurna orang yang menghafal Al-Qur’an setengahnya saja, atau sepertiganya, dan tidak menyempurnakannya. Dan hendaknya hafalan itu berlangsung dalam keadaan cermat, sebab jika tidak begitu implikasinya adalah bahwa seluruh umat Islam dapat disebut penghafal Al-Qur’an, karena setiap muslim dapat dipastikan bisa membaca Al-fatihah mengingat surat ini merupakan salah satu rukun sholat, menurut mayoritas mazhab. Dalam kontek ini istilah penghafal Al-Qur’an atau pemangku keutuhan Al-Qur’an hampir tidak dipergunakan kecuali bagi orang yang hafal semua ayat Al-Qur’an dengan hafalan yang cepat dan berkompeten untuk mengajarkan kepada orang lain dengan berlandaskan kaidah-kaidah tilawah benar.
2. Menekuni, merutinkan, dan mencurahkan segenap tenaga untuk melindungi hafalan dari kelupaan. Maka barang siapa yang telah (pernah) menghafal Al-Qur’an kemudian lupa sebagian atau seluruhnya, karena disepelekan dan diremehkan tanpa alasan seperti
ketuaan atau sakit, tidak lagi dinamakan penghafal. Orang tersebut tidaklah bisa disebut pemangku Al-Qur’an. Hal ini mengingat perbedaan Al-Qur’an dan hadits atau lain-lainnya. Dalam hadits atau lainnya boleh menyebutkan kandungan maknanya saja, dan boleh pula
mengubah teksnya. Hal ini tidak boleh dilakukan terhadap Al-Qur’an. Hafalan Al-Qur’an apabila dinisbatkan kepada Allah Swt maksudnya adalah menjaga kemurniannya, perubahan, penyimpanan, penambahan atau pengurangan, Allah berfirman dalam QS.Al-Hijr 9:
Artinya: “sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya(Q.S al-Hijr: 9)”
Mengapa harus menghafal Al-Qur’an?
Pertanyaan di atas mungkin tidak biasa, tidak lazim dan tidak populer. Bagi sebagian muslim, menghafal Al-Qur’an dianggap sebagai pekerjaan yang tidak terlalu penting. Selain tidak populer dan susah, aktifitas menghafal seringkali diidentikan dengan keletihan dan buang-buang waktu saja. Apa benar dugaan ini? Sebagai seorang muslim yang mengaku Al-Qur’an sebagai kitab sucinya dan Muhammad sebagai nabinya, orang-orang yang berkata demikian sepertinya harus segera instrospeksi diri. Karena, bagi mereka yang berpegang teguh dengan keislamannya tentu percaya bahwa hanya dengan berinteraksi dengan ayat-ayat Allah melalui petunjuk Rasulullah Saw itu, keyakinan kita kepada dinul Islam ini semakin menguat dan kokoh. Siapapun kita apabila sudah merasakan nikmatnya membaca Al-Qur’an dengan hafalan dan penuh penghayatan, pasti akan melupakan segala-galanya. Ini karena Al-Qur’an ini adalah kelezatan bagi hati orang-orang yang merindukan dialog dengan Tuhannya. Tidak ada yang bisa menyemangati dirinya selain berada dalam interaksi yang intensif dengan surat cintaNya itu. Semakin dekat seseorang dengan Tuhannya, maka akan semakin besar datang pertolongan-Nya kepada orang itu.
Dengan menghafalkan Al-Qur’an, diri kita akan selalu berada dalam keadaan ingat Allah, ingat perintah-perintah-Nya, ingat ancaman-ancamanNya jika berbuat maksiat, ingat akan surga, neraka dan hari akhir. Hal ini bisa dirasakan oleh siapapun ketika ia membaca Al-Qur’an dan meresapi maknanya. Semakin kuat interaksi seorang muslim dengan ayat-ayat Al-Qur’an maka akan semakin kuat imannya dan tegar jiwanya. Sungguh, Allah akan menitipkan kekuatan-Nya kepada mereka ketika mereka bersua dalam kesendirian bersama ayat-ayat-Nya. Menghafal Al-Qur’an dengan segala keistimewaannya akan mengantarkan seseorang selalu dicintai oleh Allah dan makhluk-Nya. Menghafal al-Qur’an akan menggerakkan pikiran dan jiwa untuk selalu berpikir, meresapi, merenung dan mencari hakikat diri di belantara kehidupan dunia ini. Masa-masa pencarian itu akan terjadi ketika pikiran-pikirannya diajak berkelana dan melanglang buana ke dunia lain yang penuh dengan misteri. Namun dengan begitu, kelembutan ayat-ayatNya membawanya kepada kerinduan kepada Ilahi. Semakin dibaca ayat-ayat itu maka akan semakin lembut jiwanya dan semakin tajam pikirannya.
Adapun alasan pentingnya menghafal Al-Qur’an, yaitu:
1. Al Qur’an adalah manhajul hayah (pedoman hidup) bagi seluruh manusia.
Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara haq dan bathil)…“ (Q.S. Al-Baqarah 185). Hifzhul Quran (menghafal Al-Quran) merupakan upaya mengakrabkan orang-orang yang beriman dengan kitab sucinya sehingga ia tidak buta terhadap kitab sucinya. Terbukti dengan masih langkanya nilai-nilai Al-Qur’an yang membudaya dan menyatu dalam kehidupan saat ini, banyak muslimah yang masih terbuka auratnya, angka aborsi yang masih memprihatinkan, meningkatnya penderita HIV/AIDS akibat seks bebas atau narkoba atau tingkat korupsi yang cukup tinggi jelas membuktikan jauhnya nilai Al-Qur’an dalam diri umat.
2. Al-Qur’an adalah ruh bagi orang-orang yang beriman
Firman Allah, “Dan demikianlah kami wahyukan Ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami” (Q.S. Asy Syura 52). Sayyid Quthub mengatakan, “Di dalamnya (Al-Qur’an) terdapat kehidup yang dapat menyebarkan, mendorong, menggerakkan, dan mengembangkan kehidupan di dalam hati dan realita aktivitas yang dapat disaksikan” (Fi Dzilalil Quran, Juz 5 hal. 3171). Orang-orang yang menghafalkan Al-Qur’an sesungguhnya bukanlah sedang menghafal kata-kata yang tidak memiliki misi khusus, sebagaimana orang yang menghafalkan syair-syair. Namun sesungguhnya mereka sedang menghafalkan sesuatu yang memberikan kehidupan pada jiwa, akal bahkan jasadnya. Imam Hasan Al Banna memberi gelar kepada para dai yang benar-benar komitmen terhadap Al-Qur’an sebagai ruh, lewat kalimat, “Kalian adalah ruh baru dalam tubuh umat ini.”
3. Al Qur’an sebagai Ad Dzikra (peringatan)
Firman Allah, “…Maka berilah peringatan dengan Al-Quran orang yang takut kepada ancaman-Ku” (Q.S. Qaaf 45). Al-Qur’an memiliki kemampuan untuk menggerakkan dan menggetarkan hati manusia yang hidup dan takut terhadap apa yang akan dihadapi di akhirat nanti, berupa ancaman yang dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an bagi orang yang berpaling dari peringatannya(Fi Dzilalil Quran , juz 6 hal 3367). Contoh paling masyhur adalah proses islamnya Umar bin Khaththab. Walau punya watak yang keras dan temperamental, Umar bergetar hatinya begitu mendengar bacaan surat Thaha.Karena itu, sudah seharusnya Al-Qur’an perlu untuk dibaca berulang-ulang sampai dihafal oleh orang-orang yang beriman. Dengan demikian, mereka secara kontinyu mendapatkan peringatan dari Allah dan lebih banyak hidup bersama ayat-ayat-Nya.
4. Al-Qur’an sebagai inspirasi pengetahuan alam
Sesuai sifat Allah sendiri sebagai Maha Pencipta dan Maha Mengetahui, sudah sewajarnya jika Al Qur’an sarat dengan ilmu pengetahuan. Penghafal Al Qur’an sesungguhnya adalah orang yang otaknya penuh dengan informasi-informasi Allah baik rinci maupun global.
Bagaimana misalnya Al-Qur’an mendeskripsikan secara detil salah satu keadaan laut sebagaimana firman-Nya: ‘Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak boleh ditembus’ (Q.S. Ar Rahman 19-20). Al-Qur’an sebagai manhajul hayah juga menjelaskan tema pendidikan, ekonomi, dan politik. Sedangkan dari segi iptek didalamnya banyak isyarat tentang ilmu fisiologi, astronomi, kedokteran bahkan ruang angkasa.
5. Menjaga ke-mutawatir-an Al-Qur’an.
Apakah yang dimaksud berita yang mutawatir? Ulama hadits menjelaskan yaitu, ”Sesuatu yang diriwayatkan oleh orang banyak sehingga mustahil biasanya mereka bersatu dalam kedustaan.” Kemudahan dalam membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ada sejak 14 abad lalu tanpa terkurangi kata bahkan juga hurufnya. Ini merupakan kenikmatan besar yang harus kita syukuri umat Islam. Hal ini juga tidak terlepas dari jasa para huffazh (para hafidz Al-Qur’an) yang jumlahnya jutaan dan terus ada sepanjang sejarah kehidupan manusia sejak diturunkan Al-Qur’an sampai sekarang. Sehingga Al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir dan tidak mudah bahkan tidak mungkin diubah atau dipalsukan oleh tangan-tangan kotor sebagaimana kitab-kitab suci sebelumnya. Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa hifzhul Qur’an (menghafal Al-Qur’an) hukumnya fardhu kifayah. Hal ini agar tidak terjadi pemutusan jumlah kemutawatiran Al- Qur’an dan pengrusakan atau pemalsuan oleh tangan-tangan kotor.
6. Meningkatkan kualitas umat
Umat Islam telah dibekali oleh Allah swt. suatu mukjizat yang sangat besar. Ia merupakan sumber ilmu dan petunjuk bagi manusia. Tidak terangkat umat ini kecuali dengan Al-Qur’an. Allah menjelaskan, ”Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (Q.S. Al-Anbiya 10).
7. Menjaga kelestarian sunnah-sunnah Rasulullah Saw.
Sebagian ibadah yang dilakukan Rasulullah Saw. ada yang sangat terkait dengan hafalan Al- Qur’an. Hafalan yang terbatas pada surat-surat pendek dalam juz 30 akan membatasi kita dalam meneladani ibadah beliau secara sempurna. Perhatikan, bagaimana beliau membaca surat-surat Al-Qur’an ketika shalat Id, Jum’at, Subuh, khusuf dan kusuf (shalat gerhana matahari dan bulan) serta qiyamullail. Selain membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasyiah, Rasulullah Saw. biasa shalat jumat membaca Al-Jumu’ah dan Al-Munafiqun. Beliau sering membaca surat-surat yang panjang pada jumat subuh yaitu surat As-Sajadah dan Al-Insan. Pada hari-hari yang lain beliau juga membaca surat-surat yang panjang seperti surat Ar-Rum dan yang lain. Pada waktu shalat Idain (dua hari raya) selain membaca surat Al-A’la dan Al Ghasiyah, beliau sering juga membaca surat Qaaf dan Al-Qamar yang lamanya bisa mencapai setengah jam. Beliau pernah membaca surat Al-Baqarah dan Ali ’Imran dalam tahajud. Pernah juga ditambah surat An Nisaa. Karena panjangnya bacaan, nyaris membuat Hudzaifah yang ikut berjamaah meninggalkan beliau.
Keterangan ini seakan memberi teguran kepada kita betapa umat ini sangat kurang akrab dengan Al-Qur’an. Surat-surat yang dibaca oleh para imam masjid atau mushalla terbatas pada surat-surat di juz Amma (juz 30). Sehingga surat lain menjadi asing di telingga kita. Keadaan ini telah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada usaha peningkatan. Wajarlah jika generasi sekarang yang ingin menghafal Al-Qur’an harus berjuang ekstra keras karena telinga mereka tidak biasa terlatih mendengarkan ayat-ayat panjang.
8. Menjauhkan mukmin dari aktivitas laghwu (tak berguna)
Mukmin yang sejati adalah mukmin yang telah berhasil menjauhkan dirinya dari aktivitas laghwu, baik yang mubah (boleh) apalagi yang haram. Ia harus memiliki sikap yang tidak mudah terbawa oleh arus deras yang membuatnya lupa kepada Allah. Maka wajarlah jika Allah menjamin kesuksesan bagi mereka di dunia dan di akhirat. Firman-Nya, ”Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang laghwu.” (Q.S. Al Mukminun 1-3). Banyak cara yang dapat kita lakukan agar kita terhindar dari laghwu. Kembali kepada Al- Qur’an adalah salah satu di antaranya. Dengan selalu membaca apalagi menghafalnya, otomatis akan menjauhkan kita dari laghwu.
Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khattab Ra pernah menempuh perjalanan dari Madinah menuju Baitul Maqdis (Palestina). Ia mengendarai keledai secara bergantian dengan Aslam, pembantunya. Mereka sepakat untuk bergantian dengan ditentukan oleh bacaan Al-Qur’an. Saat itu belum ada lembaran kertas (mushaf) ayat Al-Qur’an seperti sekarang. Jadi, mereka berdua membaca secara hafalan. Tanpa kita sadari bahwa kita kadang terjebak dalam suasana yang laghwu, perjalanan yang jauh di dalam bus, kereta, pesawat, atau kapal laut kerap menyajikan tontonan yang laghwu atau hingar bingar musik yang tidak ada hentinya sepanjang perjalanan. Satu hal yang dapat kita lakukan untuk mengurangi dampak negatifnya adalah dengan membaca Al-Qur’an, baik hafalan maupun dengan mushaf.
9. Melestarikan budaya salafus shalih
Kalau kita kaji kembali sejarah kehidupan orang-orang yang shalih zaman dahulu (salafus shalih) akan kita dapatkan kehidupan yang cemerlang baik dalam hal pengetahuan maupun dalam hal ketaqwaan kepada Allah. Di antara kecemerlangan itu terlihat dalam perhatian mereka yang besar terhadap Al-Qur’an. Mereka pelajari kitab tafsir yang sampai sekarang dapat kita nikmati. Mereka juga mempelajari tilawahnya dengan baik sampai mereka hafal, terbukti dengan adanya para para imam qira’ah seperti Imam Nafi’ bin Ruwaim, Ibnu Katsir, ’Ashim bin Abin Najud, Muhammad bin Muhammad Al Jazari.
Suatu hal yang patut dicatat adalah bahwa pengajaran Al-Qur’an yang mereka lakukan tidak hanya terbatas pada kemampuan saja, kemudian selesai. Namun mereka juga memberikan perhatian dalam menghafal dan memahaminya. Dalam mentahfidzkan anak-anak, mereka lakukan sejak dini. Sehingga banyak tokoh-tokoh ulama sudah hafal Al-Qur’an pada usia sebelum baligh. Imam Syafi’i misalnya telah hafidz pada usia 10 tahun. Begitu pun Ibnu Sina, filsuf & ahli pengobatan Islam
Ya Allah berikanlah kami keistiqamahan dalam menghafal kitabMU dan mudahkanlah hatiku agar dapat menghafal Al-Qur’an
Oleh : Ustadz Salman Syarifudin , MA
Menghafal Al-Qur’an terdiri dari dua kata, yaitu kata “menghafal” dan “Al-Qur’an”. Dalam kamus besar bahasa indonesia, pengertian menghafal adalah berusaha meresapkan kedalam fikiran agar selalu ingat. Menurut Zuhairini dan Ghofir, menghafal adalah suatu metode yang
digunakan untuk mengingat kembali sesuatu yang pernah dibaca secara benar seperti apa adanya. Metode tersebut banyak digunakan dalam usaha untuk menghafal Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Al-Hifzh secara etimologi adalah menjaga, memelihara atau menghafalkan. Sedang Al-Hafizh adalah orang yang menghafal dengan cermat, orang yang selalu berjaga-jaga, orang yang selalu menekuni pekerjaannya. Istilah Al-Hafizh ini dipergunakan untuk orang yang hafal Al-Qur’an tiga puluh juz tanpa mengetahui isi dan kandungan Al-Qur’an. Sebenarnya istilah Al-Hafizh ini adalah predikat bagi sahabat Nabi yang hafal hadits-hadits shahih (bukan predikat bagi penghafal Al-Qur’an). Hifzh diartikan memelihara atau menjaga dan mempunyai banyak idiom yang lain, seperti si-fulan membaca Al-Qur’an dengan kecepatan yang jitu (zhahru al-lisan) dengan hafalan di luar kepala (zhahru al-qolb). Baik kata-kata zhahru al-lisan maupun zharu al-qolb merupakan kinayah (metafora) dari hafalan tanpa kitab, karena itu disebut “istizhahrahu” yang berarti menghafal dan membacanya di luar kepala. Dalam kitab ini, menghafal Al-Qur’an, memeliharanya serta menalarnya haruslah memperhatikan beberapa unsur pokok sebagai berikut:
a. Menghayati bentuk-bentuk visual, sehingga bisa diingat kembali meski tanpa kitab.
b. Membaca secara rutin ayat-ayat yang dihafalkan.
c. Penghafal Al-Qur’an dituntut untuk menghafal secara keseluruhan baik hafalan maupun ketelitian.
d. Menekuni, merutinkan dan melindungi hafalan dari kelupaan.
Langkah-langkah menghafal
Ada empat langkah yang perlu dilakukan dalam menggunakan metode ini, antara lain:
a. merefleksi, yakni memperhatikan bahan yang sedang dipelajari, baik dari segi tulisan, tanda bacannya dan syakalnya.
b. mengulang, yaitu membaca dan atau mengikuti berulang-ulang apa yang diucapkan oleh pengajar.
c. meresitasi, yaitu mengulang secara individual guna menunjukkan perolehan hasil belajar tentang apa yang telah dipelajari.
d. retensi, yaitu ingatan yang telah dimiliki mengenai apa yang telah dipelajari yang bersifat permanen.
Menurut Suryabrata, istilah menghafal disebut juga mencamkan dengan sengaja dan dikehendaki, artinya dengan sadar dan sungguh-sungguh mencamkan sesuatu. Dikatakan dengan sadar dan sungguh-sungguh, karena ada pula mencamkan yang tidak disengaja dalam memperoleh suatu pengetahuan. Menurut beliau, hal-hal yang dapat membantu menghafal atau mencamkan antara lain:
a. Menyuarakan dalam menghafal. Dalam proses menghafal akan lebih efektif bila seseorang menyuarakan bacaannya, artinya tidak membaca dalam hati saja.
b. Pembagian waktu yang tepat dalam menambah hafalan, yaitu menambah hafalan sedikit demi sedikit akan tetapi dilakukan secara kontinu.
c. Menggunakan metode yang tepat dalam menghafal, antara lain:
1) Metode keseluruhan/metode G (Ganzlern methode), yaitu metode menghafal dengan mengulang berkali-kali dari awal sampai akhir,
2) Metode bagian/metode T (Teilern methode), yaitu menghafal bagian demi bagian sesuatu yang dihafalkan, dan
3) Metode campuran/metode V (vermittelendelern), yaitu menghafal bagian-bagian yang sukar terlebih dahulu selanjutnya dipelajari dengan metode keseluruhan.
Definisi Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau yang dibaca. Kata Al-Qur’an diambil dari isim mashdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu: maqru’ (yang dibaca). Menurut istilah ahli agama Islam, Al-Qur’an ialah “nama bagi kalamullah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad Saw, yang ditulis dalam mushaf,” Definisi Al-Qur’an menurut sebagian ulama ahli ushul adalah: “firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw yang bersifat mukjizat (melemahkan) dengan sebuah surat dari padanya, dan beribadat bagi yang
membacanya”. Sebagian ahli ushul juga mendefinisikan: Al-Kitab (Al-Qur’an) adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad dengan bahasa arab untuk diperhatikan dan diambil pelajaran oleh manusia, yang dinukilkan (dipindahkan) kepada kita dengan khabar
mutawatir, yang ditulis dalam mushaf, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas”. Dalam tafsir Al-Munir, Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan pengertian Al-
Qur’an sebagai berikut: Al-Qur’an adalah kitab Allah yang melemahkan, yang diturunkan kepadan nabi Muhammad Saw dengan lafaz bahasa arab, yang tertulis dalam lembaran-lembaran, membacanya dianggap ibadah, yang dipindahkan dengan mutawatir, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa menghafal Al-Qur’an merupakan usaha dengan sadar dan sungguh-sungguh yang dilakukan , untuk mengingat-ingat dan meresapkan bacaan kitab suci Al-Qur’an yang mengandung mukjizat kedalam fikiran agar selalu ingat, dengan menggunakan metode dan strategi tertentu.
Hakikat menghafal
Al-Hifzh (hafalan) adalah lawan dari lupa, yaitu selalu ingat dan sedikit lupa. Penghafal adalah seorang yang menghafal dengan cermat dan termasuk sederetan kaum yang menghafal oleh sebab itu para penghafal ( hafizh) Al-Qur’an mempunyai kedudukan yang istimewa dihadapan Allah Swt. Kata-kata hifzh dalam Al-Qur’an dapat berarti banyak hal yang sesuai dengan pemahaman konteks. Diantaranya memelihara dan menjaga. Firman Allah:“Dan kami akan dapat memelihara saudara kami karena seseungguhnya Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan dia adalah Maha Penyanyang diantara para penyayang ( Yusuf 65)”, “ dan mereka yang senantiasa menjaga shalat( Al-Mukminun 5). Atau menahan diri dari yang tidak dihalalkan oleh Allah. Allah berfirman: “ Dan kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya ( Al-Anbiyat :32).”Ibnu Madzur berkata bahwa al-hifzh adalah orang yang selalu berjaga-jaga yaitu orang yang selalu menekuni pekerjaanya, dalam Q.S (Al-Baqarah: 238) Artinya: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.”
Penghafal Al-Qur’an dan penghafal-penghafal lainnya
Ada dua perkara asasi yang membedakan antara penghafal Al-Qur’an, penghafal al-hadits, penghafal syair-syair, mutiara-mutiara hikmah, tamtsil, teks-teks susastra, dan lain-lainnya yaitu:
1. Penghafal Al-Qur’an dituntut untuk menghafal secara keseluruhan, baik hafalan maupun ketelitian, sebab itu tidaklah disebut penghafal yang sempurna orang yang menghafal Al-Qur’an setengahnya saja, atau sepertiganya, dan tidak menyempurnakannya. Dan hendaknya hafalan itu berlangsung dalam keadaan cermat, sebab jika tidak begitu implikasinya adalah bahwa seluruh umat Islam dapat disebut penghafal Al-Qur’an, karena setiap muslim dapat dipastikan bisa membaca Al-fatihah mengingat surat ini merupakan salah satu rukun sholat, menurut mayoritas mazhab. Dalam kontek ini istilah penghafal Al-Qur’an atau pemangku keutuhan Al-Qur’an hampir tidak dipergunakan kecuali bagi orang yang hafal semua ayat Al-Qur’an dengan hafalan yang cepat dan berkompeten untuk mengajarkan kepada orang lain dengan berlandaskan kaidah-kaidah tilawah benar.
2. Menekuni, merutinkan, dan mencurahkan segenap tenaga untuk melindungi hafalan dari kelupaan. Maka barang siapa yang telah (pernah) menghafal Al-Qur’an kemudian lupa sebagian atau seluruhnya, karena disepelekan dan diremehkan tanpa alasan seperti
ketuaan atau sakit, tidak lagi dinamakan penghafal. Orang tersebut tidaklah bisa disebut pemangku Al-Qur’an. Hal ini mengingat perbedaan Al-Qur’an dan hadits atau lain-lainnya. Dalam hadits atau lainnya boleh menyebutkan kandungan maknanya saja, dan boleh pula
mengubah teksnya. Hal ini tidak boleh dilakukan terhadap Al-Qur’an. Hafalan Al-Qur’an apabila dinisbatkan kepada Allah Swt maksudnya adalah menjaga kemurniannya, perubahan, penyimpanan, penambahan atau pengurangan, Allah berfirman dalam QS.Al-Hijr 9:
Artinya: “sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya(Q.S al-Hijr: 9)”
Mengapa harus menghafal Al-Qur’an?
Pertanyaan di atas mungkin tidak biasa, tidak lazim dan tidak populer. Bagi sebagian muslim, menghafal Al-Qur’an dianggap sebagai pekerjaan yang tidak terlalu penting. Selain tidak populer dan susah, aktifitas menghafal seringkali diidentikan dengan keletihan dan buang-buang waktu saja. Apa benar dugaan ini? Sebagai seorang muslim yang mengaku Al-Qur’an sebagai kitab sucinya dan Muhammad sebagai nabinya, orang-orang yang berkata demikian sepertinya harus segera instrospeksi diri. Karena, bagi mereka yang berpegang teguh dengan keislamannya tentu percaya bahwa hanya dengan berinteraksi dengan ayat-ayat Allah melalui petunjuk Rasulullah Saw itu, keyakinan kita kepada dinul Islam ini semakin menguat dan kokoh. Siapapun kita apabila sudah merasakan nikmatnya membaca Al-Qur’an dengan hafalan dan penuh penghayatan, pasti akan melupakan segala-galanya. Ini karena Al-Qur’an ini adalah kelezatan bagi hati orang-orang yang merindukan dialog dengan Tuhannya. Tidak ada yang bisa menyemangati dirinya selain berada dalam interaksi yang intensif dengan surat cintaNya itu. Semakin dekat seseorang dengan Tuhannya, maka akan semakin besar datang pertolongan-Nya kepada orang itu.
Dengan menghafalkan Al-Qur’an, diri kita akan selalu berada dalam keadaan ingat Allah, ingat perintah-perintah-Nya, ingat ancaman-ancamanNya jika berbuat maksiat, ingat akan surga, neraka dan hari akhir. Hal ini bisa dirasakan oleh siapapun ketika ia membaca Al-Qur’an dan meresapi maknanya. Semakin kuat interaksi seorang muslim dengan ayat-ayat Al-Qur’an maka akan semakin kuat imannya dan tegar jiwanya. Sungguh, Allah akan menitipkan kekuatan-Nya kepada mereka ketika mereka bersua dalam kesendirian bersama ayat-ayat-Nya. Menghafal Al-Qur’an dengan segala keistimewaannya akan mengantarkan seseorang selalu dicintai oleh Allah dan makhluk-Nya. Menghafal al-Qur’an akan menggerakkan pikiran dan jiwa untuk selalu berpikir, meresapi, merenung dan mencari hakikat diri di belantara kehidupan dunia ini. Masa-masa pencarian itu akan terjadi ketika pikiran-pikirannya diajak berkelana dan melanglang buana ke dunia lain yang penuh dengan misteri. Namun dengan begitu, kelembutan ayat-ayatNya membawanya kepada kerinduan kepada Ilahi. Semakin dibaca ayat-ayat itu maka akan semakin lembut jiwanya dan semakin tajam pikirannya.
Adapun alasan pentingnya menghafal Al-Qur’an, yaitu:
1. Al Qur’an adalah manhajul hayah (pedoman hidup) bagi seluruh manusia.
Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara haq dan bathil)…“ (Q.S. Al-Baqarah 185). Hifzhul Quran (menghafal Al-Quran) merupakan upaya mengakrabkan orang-orang yang beriman dengan kitab sucinya sehingga ia tidak buta terhadap kitab sucinya. Terbukti dengan masih langkanya nilai-nilai Al-Qur’an yang membudaya dan menyatu dalam kehidupan saat ini, banyak muslimah yang masih terbuka auratnya, angka aborsi yang masih memprihatinkan, meningkatnya penderita HIV/AIDS akibat seks bebas atau narkoba atau tingkat korupsi yang cukup tinggi jelas membuktikan jauhnya nilai Al-Qur’an dalam diri umat.
2. Al-Qur’an adalah ruh bagi orang-orang yang beriman
Firman Allah, “Dan demikianlah kami wahyukan Ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami” (Q.S. Asy Syura 52). Sayyid Quthub mengatakan, “Di dalamnya (Al-Qur’an) terdapat kehidup yang dapat menyebarkan, mendorong, menggerakkan, dan mengembangkan kehidupan di dalam hati dan realita aktivitas yang dapat disaksikan” (Fi Dzilalil Quran, Juz 5 hal. 3171). Orang-orang yang menghafalkan Al-Qur’an sesungguhnya bukanlah sedang menghafal kata-kata yang tidak memiliki misi khusus, sebagaimana orang yang menghafalkan syair-syair. Namun sesungguhnya mereka sedang menghafalkan sesuatu yang memberikan kehidupan pada jiwa, akal bahkan jasadnya. Imam Hasan Al Banna memberi gelar kepada para dai yang benar-benar komitmen terhadap Al-Qur’an sebagai ruh, lewat kalimat, “Kalian adalah ruh baru dalam tubuh umat ini.”
3. Al Qur’an sebagai Ad Dzikra (peringatan)
Firman Allah, “…Maka berilah peringatan dengan Al-Quran orang yang takut kepada ancaman-Ku” (Q.S. Qaaf 45). Al-Qur’an memiliki kemampuan untuk menggerakkan dan menggetarkan hati manusia yang hidup dan takut terhadap apa yang akan dihadapi di akhirat nanti, berupa ancaman yang dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an bagi orang yang berpaling dari peringatannya(Fi Dzilalil Quran , juz 6 hal 3367). Contoh paling masyhur adalah proses islamnya Umar bin Khaththab. Walau punya watak yang keras dan temperamental, Umar bergetar hatinya begitu mendengar bacaan surat Thaha.Karena itu, sudah seharusnya Al-Qur’an perlu untuk dibaca berulang-ulang sampai dihafal oleh orang-orang yang beriman. Dengan demikian, mereka secara kontinyu mendapatkan peringatan dari Allah dan lebih banyak hidup bersama ayat-ayat-Nya.
4. Al-Qur’an sebagai inspirasi pengetahuan alam
Sesuai sifat Allah sendiri sebagai Maha Pencipta dan Maha Mengetahui, sudah sewajarnya jika Al Qur’an sarat dengan ilmu pengetahuan. Penghafal Al Qur’an sesungguhnya adalah orang yang otaknya penuh dengan informasi-informasi Allah baik rinci maupun global.
Bagaimana misalnya Al-Qur’an mendeskripsikan secara detil salah satu keadaan laut sebagaimana firman-Nya: ‘Dia biarkan dua lautan bertemu, di antara keduanya ada batas yang tidak boleh ditembus’ (Q.S. Ar Rahman 19-20). Al-Qur’an sebagai manhajul hayah juga menjelaskan tema pendidikan, ekonomi, dan politik. Sedangkan dari segi iptek didalamnya banyak isyarat tentang ilmu fisiologi, astronomi, kedokteran bahkan ruang angkasa.
5. Menjaga ke-mutawatir-an Al-Qur’an.
Apakah yang dimaksud berita yang mutawatir? Ulama hadits menjelaskan yaitu, ”Sesuatu yang diriwayatkan oleh orang banyak sehingga mustahil biasanya mereka bersatu dalam kedustaan.” Kemudahan dalam membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ada sejak 14 abad lalu tanpa terkurangi kata bahkan juga hurufnya. Ini merupakan kenikmatan besar yang harus kita syukuri umat Islam. Hal ini juga tidak terlepas dari jasa para huffazh (para hafidz Al-Qur’an) yang jumlahnya jutaan dan terus ada sepanjang sejarah kehidupan manusia sejak diturunkan Al-Qur’an sampai sekarang. Sehingga Al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir dan tidak mudah bahkan tidak mungkin diubah atau dipalsukan oleh tangan-tangan kotor sebagaimana kitab-kitab suci sebelumnya. Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa hifzhul Qur’an (menghafal Al-Qur’an) hukumnya fardhu kifayah. Hal ini agar tidak terjadi pemutusan jumlah kemutawatiran Al- Qur’an dan pengrusakan atau pemalsuan oleh tangan-tangan kotor.
6. Meningkatkan kualitas umat
Umat Islam telah dibekali oleh Allah swt. suatu mukjizat yang sangat besar. Ia merupakan sumber ilmu dan petunjuk bagi manusia. Tidak terangkat umat ini kecuali dengan Al-Qur’an. Allah menjelaskan, ”Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (Q.S. Al-Anbiya 10).
7. Menjaga kelestarian sunnah-sunnah Rasulullah Saw.
Sebagian ibadah yang dilakukan Rasulullah Saw. ada yang sangat terkait dengan hafalan Al- Qur’an. Hafalan yang terbatas pada surat-surat pendek dalam juz 30 akan membatasi kita dalam meneladani ibadah beliau secara sempurna. Perhatikan, bagaimana beliau membaca surat-surat Al-Qur’an ketika shalat Id, Jum’at, Subuh, khusuf dan kusuf (shalat gerhana matahari dan bulan) serta qiyamullail. Selain membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasyiah, Rasulullah Saw. biasa shalat jumat membaca Al-Jumu’ah dan Al-Munafiqun. Beliau sering membaca surat-surat yang panjang pada jumat subuh yaitu surat As-Sajadah dan Al-Insan. Pada hari-hari yang lain beliau juga membaca surat-surat yang panjang seperti surat Ar-Rum dan yang lain. Pada waktu shalat Idain (dua hari raya) selain membaca surat Al-A’la dan Al Ghasiyah, beliau sering juga membaca surat Qaaf dan Al-Qamar yang lamanya bisa mencapai setengah jam. Beliau pernah membaca surat Al-Baqarah dan Ali ’Imran dalam tahajud. Pernah juga ditambah surat An Nisaa. Karena panjangnya bacaan, nyaris membuat Hudzaifah yang ikut berjamaah meninggalkan beliau.
Keterangan ini seakan memberi teguran kepada kita betapa umat ini sangat kurang akrab dengan Al-Qur’an. Surat-surat yang dibaca oleh para imam masjid atau mushalla terbatas pada surat-surat di juz Amma (juz 30). Sehingga surat lain menjadi asing di telingga kita. Keadaan ini telah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada usaha peningkatan. Wajarlah jika generasi sekarang yang ingin menghafal Al-Qur’an harus berjuang ekstra keras karena telinga mereka tidak biasa terlatih mendengarkan ayat-ayat panjang.
8. Menjauhkan mukmin dari aktivitas laghwu (tak berguna)
Mukmin yang sejati adalah mukmin yang telah berhasil menjauhkan dirinya dari aktivitas laghwu, baik yang mubah (boleh) apalagi yang haram. Ia harus memiliki sikap yang tidak mudah terbawa oleh arus deras yang membuatnya lupa kepada Allah. Maka wajarlah jika Allah menjamin kesuksesan bagi mereka di dunia dan di akhirat. Firman-Nya, ”Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang laghwu.” (Q.S. Al Mukminun 1-3). Banyak cara yang dapat kita lakukan agar kita terhindar dari laghwu. Kembali kepada Al- Qur’an adalah salah satu di antaranya. Dengan selalu membaca apalagi menghafalnya, otomatis akan menjauhkan kita dari laghwu.
Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khattab Ra pernah menempuh perjalanan dari Madinah menuju Baitul Maqdis (Palestina). Ia mengendarai keledai secara bergantian dengan Aslam, pembantunya. Mereka sepakat untuk bergantian dengan ditentukan oleh bacaan Al-Qur’an. Saat itu belum ada lembaran kertas (mushaf) ayat Al-Qur’an seperti sekarang. Jadi, mereka berdua membaca secara hafalan. Tanpa kita sadari bahwa kita kadang terjebak dalam suasana yang laghwu, perjalanan yang jauh di dalam bus, kereta, pesawat, atau kapal laut kerap menyajikan tontonan yang laghwu atau hingar bingar musik yang tidak ada hentinya sepanjang perjalanan. Satu hal yang dapat kita lakukan untuk mengurangi dampak negatifnya adalah dengan membaca Al-Qur’an, baik hafalan maupun dengan mushaf.
9. Melestarikan budaya salafus shalih
Kalau kita kaji kembali sejarah kehidupan orang-orang yang shalih zaman dahulu (salafus shalih) akan kita dapatkan kehidupan yang cemerlang baik dalam hal pengetahuan maupun dalam hal ketaqwaan kepada Allah. Di antara kecemerlangan itu terlihat dalam perhatian mereka yang besar terhadap Al-Qur’an. Mereka pelajari kitab tafsir yang sampai sekarang dapat kita nikmati. Mereka juga mempelajari tilawahnya dengan baik sampai mereka hafal, terbukti dengan adanya para para imam qira’ah seperti Imam Nafi’ bin Ruwaim, Ibnu Katsir, ’Ashim bin Abin Najud, Muhammad bin Muhammad Al Jazari.
Suatu hal yang patut dicatat adalah bahwa pengajaran Al-Qur’an yang mereka lakukan tidak hanya terbatas pada kemampuan saja, kemudian selesai. Namun mereka juga memberikan perhatian dalam menghafal dan memahaminya. Dalam mentahfidzkan anak-anak, mereka lakukan sejak dini. Sehingga banyak tokoh-tokoh ulama sudah hafal Al-Qur’an pada usia sebelum baligh. Imam Syafi’i misalnya telah hafidz pada usia 10 tahun. Begitu pun Ibnu Sina, filsuf & ahli pengobatan Islam
Ya Allah berikanlah kami keistiqamahan dalam menghafal kitabMU dan mudahkanlah hatiku agar dapat menghafal Al-Qur’an
Oleh : Ustadz Salman Syarifudin , MA
00.13
Berinteraksi Dengan Al-Qur’an
7/2/2007 | 18 Muharram 1428 H | Hits: 14.976
Oleh: Syarifuddin Mustafa, MA
Mentadabburi Al-Quran merupakan kewajiban dan berinteraksi dengannya merupakan sesuatu keharusan sedangkan hidup di bawah naungannya merupakan kenikmatan yang tidak dapat dimiliki kecuali orang yang dapat merasakannya, kenikmatan yang memberikan keberkahan hidup, mengangkat dan mensucikannya… hal ini tidak akan dirasakan kecuali bagi siapa yang benar-benar hidup di bawah naungannya, merasakan berbagai kenikmatan yang bisa dirasakan, mengambil dari apa yang dapat diraih; kelembutan, kebahagiaan, ketenangan, ketenteraman, kenyamanan dan kelapangan. (lihat mukadimah penerbit dari Fi Zhilalil Quran dan Biodata Sayyid Quthub pada surat Al-A’raf)
Di sini kami ingin memberikan kepada pembaca yang budiman ungkapan-ungkapan yang baik dan bermutu tentang pengalaman nyata yang dilalui dan dirasakan oleh seorang pemikir muslim kontemporer Asy-Syahid Sayyid Quthub yang direkam dalam kitabnya Fi Zhilal Al-Quran, kami akan meringkas ungkapan-ungkapan tersebut sesuai dengan kebutuhan zaman dan dapat memberikan penerangan bagi para pembaca jalan yang benar dalam rangka mentadabburi Al-Quran dan memahaminya, menelaah teori yang benar dalam berinteraksi dengan Al-Quran, hidup di bawah naungannya.
Teori ini harus diketahui oleh kaum muslimin, agar mereka dapat memahami kunci pergerakan guna membuka rahasia-rahasia pergerakan Al-Quran yang sangat berharga. Seruan yang selalu dikumandangkan oleh ustadz Sayyid Quthub, dengan teori yang baru; memahami, mentadabburi dan menafsirkan Al-Quran, yaitu teori “Tafsir Pergerakan” yang oleh Ustadz Sayyid Quthub dianggap sebagai puncak yang memberikan penjelasan hingga perkara yang mendasar, peletak madrasah “tafsir pergerakan” yang menjadikan Al-Quran hidup dengan nyata dan memberi pengaruh positif bagi kaum muslimin kontemporer.
Allah telah menganugerahkan kepadanya kunci yang fundamental “kunci pergerakan” yang dapat membuka rahasia-rahasia Al-Quran, yang ingin dihadirkan dalam kitabnya Fi Zhilal Al-Quran… (Lihat “Al-Manhaj Al-Haraki Fi Ad-Zhilal”).
Sesungguhnya masalah –dalam memahami petunjuk-petunjuk Al-Quran dan sentuhan-sentuhannya- bukanlah terletak pada pemahaman lafazh dan kalimat-kalimatnya, bukan pada “ tafsir Al-Quran – sebagaimana yang kita sangka !- masalahnya bukanlah demikian…namun kesiapan jiwa dengan menghadirkan perasaan, indra dan pengalaman : persis seperti kesiapan perasaan, indra dan pengalaman saat diturunkannya Al-Quran, yang selalu menyertai kehidupan jamaah muslimah yang selalu bergelut dalam peperangan…bergelut dalam jihad, jihadun nafs –jihad melawan hawa nafsu- jihadun nas –jihad melawan manusia-…jihad melawan nafsu angkara dan jihad melawan musuh…usaha dan pengorbanan, takut dan harap, kuat dan lemah, jatuh dan bangkit…lingkungan Mekah, Dakwah yang berkembang, minoritas dan lemah, asing di tengah-tengah manusia..lingkungan yang terkucil dan terkepung, lapar dan khawatir, tertekan dan terusir, dan ter embargo –terputus- kecuali hanya mengharap dari Allah…
Kemudian lingkungan Madinah : lingkungan pergerakan pertama bagi masyarakat muslim antara tipu daya, kemunafikan, disiplin dan kebebasan…suasana perang Badar, Uhud, Khandak, dan perjanjian Hudaibiyah…Suasana “Al-Fatah” kemenangan, perang Hunain, Tabuk, dan suasana pertumbuhan umat Islam, perkembangan sistem kemasyarakatan, persatuan yang hidup antara perasaan, kemaslahatan dan prinsip dalam memuliakan pergerakan dan dalam naungan sistem.
Dalam suasana seperti itu saat diturunkan di dalamnya ayat-ayat Al-Quran memberi kehidupan yang baik dan faktual…kalimat-kalimat, ungkapan-ungkapan, petunjuk-petunjuk dan sentuhan-sentuhannya…dalam suasana seperti ini yang menyertai awal usaha pelaksanaan kehidupan Islam yang baru, Al-Quran dengan kandungannya membukakan hati, memberikan rahasia-rahasianya, menyebarkan keharuman, dan membimbing kepada petunjuk dan cahaya…” (Khasais At-Tashawur Al-Islami : 7-8)
Dari paragraf di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa pokok utama yang harus kita jadikan petunjuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah sebagai berikut :
Membekali diri dengan persiapan perasaan, pengetahuan –indra- dan pengalaman yang selalu menyertainya saat ingin memahami nash-nash Al-Quran dan merasakan sentuhan-sentuhannya.
Memfokuskan diri –dengan khayalan, perasaan dan inderanya- pada suasana dan lingkungan saat diturunkannya Al-Quran, baik di Mekah dan di Madinah, agar dapat menemukan jejak dan pengaruh Al-Quran di sana
Memperhatikan sikap para sahabat –lingkungan Mekah dan Madinah- dengan Al-Quran dan interaksi mereka serta kehidupan mereka bersama Al-Quran.
Meneliti beberapa tujuan utama Al-Quran, metode aktual pergerakan yang di celup kan terhadap kehidupan umat Islam, serta diturunkannya Al-Quran secara realita dan sungguh-sungguh, sadar dan giat.
Mengamalkannya dalam praktek jihad, dan menerapkannya dalam kehidupan dakwah –seperti –dalam sebagian fenomena- penerapan yang dilakukan oleh para sahabat –khususnya pada periode “Mekah” dan pergerakan teoritis jihad dengan Al-Quran, menyibukkan diri, perasaan dan anggota tubuh dengan kesibukan dan perhatiannya, kegalauan perasaan dan siksaan yang mereka terima…menerima –dari itu- Al-Quran agar di dapati darinya jawaban yang nyata dan obat penyembuh
Jika kita pindahkan perhatian kepada “Fi Zhilal Al-Quran” untuk membahas ungkapan-ungkapan yang menjelaskan teori pergerakan dalam mentadabburi dan menafsirkan Al-Quran maka kita akan mendapatkan banyak sekali faedahnya.
Ustadz Sayyid Quthub menyeru kepada kita untuk hidup di bawah naungan Al-Quran –sebagaimana ia hidup di dalamnya- untuk menemukan rahasia, tabiat dan kunci-kuncinya…”Hidup di bawah naungan Al-Quran” bukan berarti mempelajari Al-Quran dan membacanya serta menelaah ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya..ini berarti bukan yang kami maksud..yang kami maksud adalah hidup di bawah naungan Al-Quran : manusia di bawah naungan, dalam suasana, dalam bergerak, saat lelah, saat bertarung, dan saat sedih…seperti yang terjadi pada masa awal turunnya Al-Quran…hidup dengannya dalam menghadapi kejahiliyahan yang menggejala di permukaan bumi saat ini; Dalam hati, niat dan gerak, dalam jiwanya selalu bergerak ruh Islam, dalam jiwa umat manusia, dalam kehidupannya dan kehidupan manusia juga…sekali lagi dalam menghadapi kejahiliyahan, dengan seluruh fenomena-fenomenanya, tindak-tanduknya dan adat istiadat nya, seluruh gerakannya, dan seluruh tekanan yang dilancarkan, perang dengannya berusaha membangkitkan aqidah rabbaniyah, sistem rabbani, dan segala aplikasi harus sesuai dengan manhaj –sistem dan aqidah ini setelah melakukan usaha, jihad dan perlawanan…
Inilah lingkungan Al-Quran yang mungkin manusia bisa hidup di dalamnya, merasakan kenikmatan Al-Quran, karena dengan lingkungan demikian Al-Quran turun, sebagaimana dalam lingkungan begitu pula Al-Quran diamalkan…bagi siapa yang tidak mau menjalani kehidupan seperti itu akan terkucil dari Al-Quran, walaupun mereka tenggelam dalam mempelajari, membaca dan menelaah ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya…
Usaha yang mesti kita korbankan untuk membangun jembatan antara orang-orang yang Mukhlish dan Al-Quran bukan tujuan kecuali setelah melintasi jembatan tersebut hingga sampai pada satu tempat lain dan berusaha menghidupkan lingkungan Al-Quran secara baik, dengan amal dan pergerakan, hingga pada saatnya mereka akan merasakan inilah Al-Quran, menikmati kenikmatan yang telah Allah anugerahkan kepada siapa yang Dia kehendaki… (Fi Zhilal Al-Quran : 2 : 1016-1017)
Dan menunjukkan kepada kita cara yang baik dalam membaca, mentadabburi, dan mendapatkan rahasia-rahasia dan inti dari Al-Quran, beliau berkata : “Sesungguhnya Al-Quran harus dibaca, para generasi umat Islam hendaknya menelaah nya dengan penuh kesadaran. Harus ditadabburi bahwasanya Al-Quran memiliki arahan-arahan yang hidup, selalu diturunkan hingga hari ini guna memberikan solusi pada masalah yang terjadi saat ini dan menyinari jalan menuju masa depan yang gemilang. Bukan hanya sekadar ayat dibaca dengan merdu dan indah, atau sekadar dokumentasi akan hakikat peristiwa yang terjadi di masa lampau.
Kita tidak akan bisa mengambil manfaat dari Al-Quran ini sampai kita mendapatkan darinya arahan-arahan tentang kehidupan realita kita pada saat ini dan mendatang, sebagaimana yang telah didapati oleh para generasi Islam pertama saat mereka mengambil dan mengamalkan arahan-arahan dan petunjuk-petunjuk Al-Quran dalam kehidupan mereka…saat kita membaca Al-Quran dengan penuh penghayatan maka kita akan dapati apa yang kita inginkan. Kita akan dapati keajaiban yang tidak terbetik dalam jiwa kita yang pelupa ! kita akan dapati juga kalimat-kalimatnya, ungkapan-ungkapannya, dan petunjuk-petunjuknya yang hidup, mengalir dan bergerak serta mengarahkan pada petunjuk jalan…” (Ad-Zhilal : 1 : 61)
Disebutkan –dalam pembukaan surat Ali Imran sebagai surat peperangan dan pergerakan- tentang kenikmatan hidup dengan Al-Quran dan syarat-syarat untuk mencapai dan mendapatkannya…akan tampak di sana kerugian yang mendalam antara kita dan Al-Quran jika kita berusaha mengamalkannya secara baik, menghadirkan dalam persepsi kita bahwa Al-Quran ini diberikan kepada umat yang giat dan punya semangat hidup, memiliki eksistensi diri, menghadapi berbagai peristiwa-peristiwa yang menimpa dalam kehidupan umat ini.
Akan tampak di sana dinding pemisah yang sangat tinggi antara hati dan Al-Quran, selama kita membacanya atau mendengarnya seakan ia hanya sekadar bacaan ibadah saja tidak memiliki hubungan dengan realita kehidupan manusia saat ini…
Mukjizat Al-Quran yang mengagumkan meliputi saat dia diturunkan guna menghadapi realita tertentu dan umat tertentu, pada masa dari masa-masa sejarah yang tertentu, khususnya umat ini yang berada dalam menghadapi perang yang sangat besar yang berusaha mengubah sejarah ini dan sejarah umat manusia seluruhnya. Namun –bersamaan dengan ini- Al-Quran diperlakukan, dihadirkan dan dimiliki untuk menghadapi kehidupan modern seakan-akan dia diturunkan untuk menanggulangi jamaah Islam pada masalah yang sedang berlangsung, seperti peperangan yang terjadi pada jahiliyah.
Agar kita dapat meraih kekuatan yang dimiliki Al-Quran, mendapatkan hakikat yang terdapat di dalamnya dari kehidupan yang menyeluruh, meraih petunjuk yang tersimpan untuk jamaah muslimah pada setiap generasi…maka selayaknya kita harus menghadirkan persepsi kita seperti generasi Islam pertama yang diturunkan kepada mereka Al-Quran pertama kali sehingga mereka bergerak dalam realita kehidupan mereka.
Dengan teori ini kita akan dapat melihat kehidupan yang bergerak di tengah kehidupan generasi Islam pertama. Begitu pun hidup di tengah kehidupan kita saat ini, kita merasakan bahwa Al-Quran akan selalu bersama kita saat ini dan nanti –masa mendatang-, Al-Quran bukan hanya sekadar bacaan saja yang jauh dari kehidupan nyata yang terbatas…” (Ad-Zhilal : 1 : 348-349 –ringkasan)
dalam berinteraksi bersama Al-Quran dan memahami nash-nash nya juga menunjukkan perkataan beliau : “Bahwa nash-nash Al-Quran tidak akan dapat dipahami dengan baik melalui pemahaman dari petunjuk-petunjuk bayan dan bahasa saja…namun yang pertama dan sebelum yang lainnya adalah dengan merasakan kehidupan dalam suasana sejarah pergerakan, dalam realita positif dan menghubungkannya dengan realita kehidupan nyata. Al-Quran tidak akan terbuka rahasianya melalui pandangan yang sangat jauh ini kecuali dalam wujud persesuaian realita sejarah…hingga akan tampak sentuhan-sentuhannya yang lestari, objektivitas yang terus menerus, namun bagi siapa yang bergerak dengan ajaran agama saja, bergelut dengannya seperti yang dilakukan ketika pertama kali ayat diturunkan pertama kali, menghadapi suasana dan keadaan seperti yang mereka hadapi. Dan tidak bisa diungkap rahasia Al-Quran dari “Al-Qoidun” orang-orang yang malas, hanya duduk-duduk tanpa usaha, yaitu mereka yang hanya membahas nash-nash Al-Quran dari segi bahasa dan bayan saja…merekalah yang disebut “al-Qoidun’. (Ad-Zhilal : 3 : 1453- Ringkasan)
Sesungguhnya Al-Quran memiliki tabiat pergerakan dan misi yang nyata, hidup dan bergerak, dari sini berarti Al-Quran tidak akan bisa dirasakan dan diperlakukan dengan baik kecuali bagi siapa yang bergerak secara benar dan pasti dalam realita…beliau berkata : “sesungguhnya Al-Quran tidak bisa dirasakan kecuali yang turun dan bergelut dalam kancah peperangan ini, bergerak seperti yang terjadi sebelumnya saat pertama kali diturunkan Al-Quran. Mereka yang tidak mendapatkan nilai-nilai dan petunjuk-petunjuk Al-Quran adalah “Qoidun” –malas-. Mempelajari Al-Quran dari segi bayan atau sekadar seni yang tidak dapat memiliki hakikat kebenaran sedikit pun dari hanya sekadar duduk, diam dan tenang, jauh dari kancah pertempuran dan jauh dari pergerakan…bahwa hakikat Al-Quran ini selamanya tidak akan dapat direngkuh oleh orang yang malas, bahwa rahasia yang terkandung di dalamnya tidak akan muncul bagi siapa yang terpengaruh dengan ketenteraman dan ketenangan beribadah kepada selain Allah, beragama untuk thagut selain Allah…(Ad-Zhilal : 4 : 1864)
pengertian di atas dikuatkan dengan pernyataan lainnya : “Demikianlah Al-Quran akan terus bergerak pada hari ini dan esok –masa mendatang- dalam memunculkan kebangkitan Islam, menggerakkannya dalam jalan dakwah yang terprogram”.
Gerakan ini tentunya butuh kepada Al-Quran yang memberikan ilham dan wahyu. Ilham dalam manhaj gerakan, konsep dan langkah-langkah, sedangkan wahyu mengarahkan konsep dan langkah tersebut jika dibutuhkan, dan memberi kekuatan bathin terhadap apa yang akan dihadapi di penghujung jalan.
Al-Quran –dalam persepsi ini- tidak hanya sekadar ayat-ayat yang dibaca untuk meminta berkah, namun di dalamnya berlimpah kehidupan yang selalu turun atas jamaah muslimah yang bergerak bersamanya, mengikuti arahan-arahannya, dan mengharap ganjaran dan janji Allah SWT.
Inilah yang kami maksud bahwa Al-Quran tidak akan terbuka rahasia-rahasianya kecuali bagi golongan muslim yang berinteraksi dengannya untuk merealisasikan petunjuk-petunjuknya di alam realita, bukan bagi mereka yang hanya sekadar membacanya untuk meminta berkah ! bukan bagi mereka yang membacanya hanya untuk belajar seni dan keilmuan, dan juga bukan bagi mereka yang hanya mempelajari dan membahas dalam bidang bayan saja !
Mereka semua sama sekali tidak akan mendapatkan dari Al-Quran sesuatu apapun, karena Al-Quran tidak diturunkan bukan untuk sekadar dipelajari dan dijadikan mata pelajaran namun sebagai pelajaran pergerakan dan taujih –pemberi petunjuk-..” (Fi Zhilal Al-Quran 4 : 1948)
Kita cukupkan cukilan yang memberikan wawasan untuk kita yang bersumber dari kitab Ad-Zhilal, bersegera memperbaiki pemahaman Al-Quran dan mentadabburinya, berinteraksi dengannya seputar teori pergerakan, menggunakan kunci-kunci yang memberi petunjuk dalam berinteraksi dan bertadabbur…karena yang demikian yang sesuai dengan tabiat dasar Al-Quran, karakteristiknya yang unik, ketahuilah yang demikian adalah “Realita pergerakan” sebagai kunci dalam berinteraksi dengan Al-Kitab yang mengagumkan dan mukjizat…
Kita tutup cukilan dengan paragraph yang ditulis oleh Sayyid Quthub, yang menjelaskan karakteristik dan menunjukkan kiat –kunci- teori ini, menuntun kepada system ini… di antara keistimewaannya bahwasanya yang demikian sebagai ringkasan pendapatnya, yaitu pendapat akhir sekali yang beliau tetapkan dan menjadi sebuah tonggak dan keyakinan, hakikat yang qot’i–tidak bisa ditawar-tawar lagi-…karena seperti yang beliau ungkapkan dalam pendahulunya adi surat Al-Hijr –dari cetakan yang sudah direvisi- yang ditulis sebelum dihukum mati beberapa hari –beberapa saat- !!
Beliau berkata : …”Karena itu gerakan Islam akan selalu berhadapan –yang menjadi kebutuhan dan tuntutan- setiap kali berulang masa ini (masa penghadangan dakwah Islam di Mekah antara tahun kesedihan dan Hijrah), seperti yang dihadapi gerakan Islam sekarang di era modern ini…
Kita berkeyakinan atas karakteristik Al-Quran ini …keunggulan realita pergerakan Islam…karena dalam pandangan kami hal tersebut merupakan kunci dalam berinteraksi, memahami, menguasai dengan Al-Quran dan mengetahui misi dan tujuannya.
Dan yang demikian harus disertai dengan keadaan, situasi, kondisi, kebutuhan, dan tuntutan realita amaliyah seperti saat diturunkannya dengan Al-Quran pertama kali…hal tersebut guna mengetahui arah tujuan nash dan aspek-aspek petunjuk-petunjuknya, meneropong ambisi nya yang selalu bergerak di tengah kehidupan yang berhadapan dengan realita sebagaimana makhluk hidup yang bergerak –berinteraksi dengannya atau berseberangan dengannya…pandangan ini merupakan perkara yang sangat urgen guna memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan merasakan kenikmatan bersamanya, sebagaimana ia juga sangat penting memanfaatkan petunjuk-petunjuknya setiap kali berulang suasana dan situasi di masa sejarah yang akan datang, khususnya zaman yang sedang kita hadapi saat ini, saat kita mengawali pergerakan dakwah Islam.
Pembaca Naskah Ini, Juga Membaca:
Tarbiyah Itu Melejitkan Potensi
Ada Apa dengan Ayat Kursi?
Bulan Muharram: Keutamaan, Legenda, Mitos, dan Bid’ah di Dalamnya
Mahasiswa Kedokteran di Inggris Boikot Kuliah tentang Teori Darwin Karena Bertentangan dengan Al-Qur’an
5 Amal Shalih di 10 Hari Pertama Dzulhijjah
Jalan Sang Dai: Lilin di tengah Gelap
Akses http://m.dakwatuna.com/ dimana saja melalui ponsel, Blackberry atau iPhone Anda.
Oleh: Syarifuddin Mustafa, MA
Mentadabburi Al-Quran merupakan kewajiban dan berinteraksi dengannya merupakan sesuatu keharusan sedangkan hidup di bawah naungannya merupakan kenikmatan yang tidak dapat dimiliki kecuali orang yang dapat merasakannya, kenikmatan yang memberikan keberkahan hidup, mengangkat dan mensucikannya… hal ini tidak akan dirasakan kecuali bagi siapa yang benar-benar hidup di bawah naungannya, merasakan berbagai kenikmatan yang bisa dirasakan, mengambil dari apa yang dapat diraih; kelembutan, kebahagiaan, ketenangan, ketenteraman, kenyamanan dan kelapangan. (lihat mukadimah penerbit dari Fi Zhilalil Quran dan Biodata Sayyid Quthub pada surat Al-A’raf)
Di sini kami ingin memberikan kepada pembaca yang budiman ungkapan-ungkapan yang baik dan bermutu tentang pengalaman nyata yang dilalui dan dirasakan oleh seorang pemikir muslim kontemporer Asy-Syahid Sayyid Quthub yang direkam dalam kitabnya Fi Zhilal Al-Quran, kami akan meringkas ungkapan-ungkapan tersebut sesuai dengan kebutuhan zaman dan dapat memberikan penerangan bagi para pembaca jalan yang benar dalam rangka mentadabburi Al-Quran dan memahaminya, menelaah teori yang benar dalam berinteraksi dengan Al-Quran, hidup di bawah naungannya.
Teori ini harus diketahui oleh kaum muslimin, agar mereka dapat memahami kunci pergerakan guna membuka rahasia-rahasia pergerakan Al-Quran yang sangat berharga. Seruan yang selalu dikumandangkan oleh ustadz Sayyid Quthub, dengan teori yang baru; memahami, mentadabburi dan menafsirkan Al-Quran, yaitu teori “Tafsir Pergerakan” yang oleh Ustadz Sayyid Quthub dianggap sebagai puncak yang memberikan penjelasan hingga perkara yang mendasar, peletak madrasah “tafsir pergerakan” yang menjadikan Al-Quran hidup dengan nyata dan memberi pengaruh positif bagi kaum muslimin kontemporer.
Allah telah menganugerahkan kepadanya kunci yang fundamental “kunci pergerakan” yang dapat membuka rahasia-rahasia Al-Quran, yang ingin dihadirkan dalam kitabnya Fi Zhilal Al-Quran… (Lihat “Al-Manhaj Al-Haraki Fi Ad-Zhilal”).
Sesungguhnya masalah –dalam memahami petunjuk-petunjuk Al-Quran dan sentuhan-sentuhannya- bukanlah terletak pada pemahaman lafazh dan kalimat-kalimatnya, bukan pada “ tafsir Al-Quran – sebagaimana yang kita sangka !- masalahnya bukanlah demikian…namun kesiapan jiwa dengan menghadirkan perasaan, indra dan pengalaman : persis seperti kesiapan perasaan, indra dan pengalaman saat diturunkannya Al-Quran, yang selalu menyertai kehidupan jamaah muslimah yang selalu bergelut dalam peperangan…bergelut dalam jihad, jihadun nafs –jihad melawan hawa nafsu- jihadun nas –jihad melawan manusia-…jihad melawan nafsu angkara dan jihad melawan musuh…usaha dan pengorbanan, takut dan harap, kuat dan lemah, jatuh dan bangkit…lingkungan Mekah, Dakwah yang berkembang, minoritas dan lemah, asing di tengah-tengah manusia..lingkungan yang terkucil dan terkepung, lapar dan khawatir, tertekan dan terusir, dan ter embargo –terputus- kecuali hanya mengharap dari Allah…
Kemudian lingkungan Madinah : lingkungan pergerakan pertama bagi masyarakat muslim antara tipu daya, kemunafikan, disiplin dan kebebasan…suasana perang Badar, Uhud, Khandak, dan perjanjian Hudaibiyah…Suasana “Al-Fatah” kemenangan, perang Hunain, Tabuk, dan suasana pertumbuhan umat Islam, perkembangan sistem kemasyarakatan, persatuan yang hidup antara perasaan, kemaslahatan dan prinsip dalam memuliakan pergerakan dan dalam naungan sistem.
Dalam suasana seperti itu saat diturunkan di dalamnya ayat-ayat Al-Quran memberi kehidupan yang baik dan faktual…kalimat-kalimat, ungkapan-ungkapan, petunjuk-petunjuk dan sentuhan-sentuhannya…dalam suasana seperti ini yang menyertai awal usaha pelaksanaan kehidupan Islam yang baru, Al-Quran dengan kandungannya membukakan hati, memberikan rahasia-rahasianya, menyebarkan keharuman, dan membimbing kepada petunjuk dan cahaya…” (Khasais At-Tashawur Al-Islami : 7-8)
Dari paragraf di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa pokok utama yang harus kita jadikan petunjuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah sebagai berikut :
Membekali diri dengan persiapan perasaan, pengetahuan –indra- dan pengalaman yang selalu menyertainya saat ingin memahami nash-nash Al-Quran dan merasakan sentuhan-sentuhannya.
Memfokuskan diri –dengan khayalan, perasaan dan inderanya- pada suasana dan lingkungan saat diturunkannya Al-Quran, baik di Mekah dan di Madinah, agar dapat menemukan jejak dan pengaruh Al-Quran di sana
Memperhatikan sikap para sahabat –lingkungan Mekah dan Madinah- dengan Al-Quran dan interaksi mereka serta kehidupan mereka bersama Al-Quran.
Meneliti beberapa tujuan utama Al-Quran, metode aktual pergerakan yang di celup kan terhadap kehidupan umat Islam, serta diturunkannya Al-Quran secara realita dan sungguh-sungguh, sadar dan giat.
Mengamalkannya dalam praktek jihad, dan menerapkannya dalam kehidupan dakwah –seperti –dalam sebagian fenomena- penerapan yang dilakukan oleh para sahabat –khususnya pada periode “Mekah” dan pergerakan teoritis jihad dengan Al-Quran, menyibukkan diri, perasaan dan anggota tubuh dengan kesibukan dan perhatiannya, kegalauan perasaan dan siksaan yang mereka terima…menerima –dari itu- Al-Quran agar di dapati darinya jawaban yang nyata dan obat penyembuh
Jika kita pindahkan perhatian kepada “Fi Zhilal Al-Quran” untuk membahas ungkapan-ungkapan yang menjelaskan teori pergerakan dalam mentadabburi dan menafsirkan Al-Quran maka kita akan mendapatkan banyak sekali faedahnya.
Ustadz Sayyid Quthub menyeru kepada kita untuk hidup di bawah naungan Al-Quran –sebagaimana ia hidup di dalamnya- untuk menemukan rahasia, tabiat dan kunci-kuncinya…”Hidup di bawah naungan Al-Quran” bukan berarti mempelajari Al-Quran dan membacanya serta menelaah ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya..ini berarti bukan yang kami maksud..yang kami maksud adalah hidup di bawah naungan Al-Quran : manusia di bawah naungan, dalam suasana, dalam bergerak, saat lelah, saat bertarung, dan saat sedih…seperti yang terjadi pada masa awal turunnya Al-Quran…hidup dengannya dalam menghadapi kejahiliyahan yang menggejala di permukaan bumi saat ini; Dalam hati, niat dan gerak, dalam jiwanya selalu bergerak ruh Islam, dalam jiwa umat manusia, dalam kehidupannya dan kehidupan manusia juga…sekali lagi dalam menghadapi kejahiliyahan, dengan seluruh fenomena-fenomenanya, tindak-tanduknya dan adat istiadat nya, seluruh gerakannya, dan seluruh tekanan yang dilancarkan, perang dengannya berusaha membangkitkan aqidah rabbaniyah, sistem rabbani, dan segala aplikasi harus sesuai dengan manhaj –sistem dan aqidah ini setelah melakukan usaha, jihad dan perlawanan…
Inilah lingkungan Al-Quran yang mungkin manusia bisa hidup di dalamnya, merasakan kenikmatan Al-Quran, karena dengan lingkungan demikian Al-Quran turun, sebagaimana dalam lingkungan begitu pula Al-Quran diamalkan…bagi siapa yang tidak mau menjalani kehidupan seperti itu akan terkucil dari Al-Quran, walaupun mereka tenggelam dalam mempelajari, membaca dan menelaah ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya…
Usaha yang mesti kita korbankan untuk membangun jembatan antara orang-orang yang Mukhlish dan Al-Quran bukan tujuan kecuali setelah melintasi jembatan tersebut hingga sampai pada satu tempat lain dan berusaha menghidupkan lingkungan Al-Quran secara baik, dengan amal dan pergerakan, hingga pada saatnya mereka akan merasakan inilah Al-Quran, menikmati kenikmatan yang telah Allah anugerahkan kepada siapa yang Dia kehendaki… (Fi Zhilal Al-Quran : 2 : 1016-1017)
Dan menunjukkan kepada kita cara yang baik dalam membaca, mentadabburi, dan mendapatkan rahasia-rahasia dan inti dari Al-Quran, beliau berkata : “Sesungguhnya Al-Quran harus dibaca, para generasi umat Islam hendaknya menelaah nya dengan penuh kesadaran. Harus ditadabburi bahwasanya Al-Quran memiliki arahan-arahan yang hidup, selalu diturunkan hingga hari ini guna memberikan solusi pada masalah yang terjadi saat ini dan menyinari jalan menuju masa depan yang gemilang. Bukan hanya sekadar ayat dibaca dengan merdu dan indah, atau sekadar dokumentasi akan hakikat peristiwa yang terjadi di masa lampau.
Kita tidak akan bisa mengambil manfaat dari Al-Quran ini sampai kita mendapatkan darinya arahan-arahan tentang kehidupan realita kita pada saat ini dan mendatang, sebagaimana yang telah didapati oleh para generasi Islam pertama saat mereka mengambil dan mengamalkan arahan-arahan dan petunjuk-petunjuk Al-Quran dalam kehidupan mereka…saat kita membaca Al-Quran dengan penuh penghayatan maka kita akan dapati apa yang kita inginkan. Kita akan dapati keajaiban yang tidak terbetik dalam jiwa kita yang pelupa ! kita akan dapati juga kalimat-kalimatnya, ungkapan-ungkapannya, dan petunjuk-petunjuknya yang hidup, mengalir dan bergerak serta mengarahkan pada petunjuk jalan…” (Ad-Zhilal : 1 : 61)
Disebutkan –dalam pembukaan surat Ali Imran sebagai surat peperangan dan pergerakan- tentang kenikmatan hidup dengan Al-Quran dan syarat-syarat untuk mencapai dan mendapatkannya…akan tampak di sana kerugian yang mendalam antara kita dan Al-Quran jika kita berusaha mengamalkannya secara baik, menghadirkan dalam persepsi kita bahwa Al-Quran ini diberikan kepada umat yang giat dan punya semangat hidup, memiliki eksistensi diri, menghadapi berbagai peristiwa-peristiwa yang menimpa dalam kehidupan umat ini.
Akan tampak di sana dinding pemisah yang sangat tinggi antara hati dan Al-Quran, selama kita membacanya atau mendengarnya seakan ia hanya sekadar bacaan ibadah saja tidak memiliki hubungan dengan realita kehidupan manusia saat ini…
Mukjizat Al-Quran yang mengagumkan meliputi saat dia diturunkan guna menghadapi realita tertentu dan umat tertentu, pada masa dari masa-masa sejarah yang tertentu, khususnya umat ini yang berada dalam menghadapi perang yang sangat besar yang berusaha mengubah sejarah ini dan sejarah umat manusia seluruhnya. Namun –bersamaan dengan ini- Al-Quran diperlakukan, dihadirkan dan dimiliki untuk menghadapi kehidupan modern seakan-akan dia diturunkan untuk menanggulangi jamaah Islam pada masalah yang sedang berlangsung, seperti peperangan yang terjadi pada jahiliyah.
Agar kita dapat meraih kekuatan yang dimiliki Al-Quran, mendapatkan hakikat yang terdapat di dalamnya dari kehidupan yang menyeluruh, meraih petunjuk yang tersimpan untuk jamaah muslimah pada setiap generasi…maka selayaknya kita harus menghadirkan persepsi kita seperti generasi Islam pertama yang diturunkan kepada mereka Al-Quran pertama kali sehingga mereka bergerak dalam realita kehidupan mereka.
Dengan teori ini kita akan dapat melihat kehidupan yang bergerak di tengah kehidupan generasi Islam pertama. Begitu pun hidup di tengah kehidupan kita saat ini, kita merasakan bahwa Al-Quran akan selalu bersama kita saat ini dan nanti –masa mendatang-, Al-Quran bukan hanya sekadar bacaan saja yang jauh dari kehidupan nyata yang terbatas…” (Ad-Zhilal : 1 : 348-349 –ringkasan)
dalam berinteraksi bersama Al-Quran dan memahami nash-nash nya juga menunjukkan perkataan beliau : “Bahwa nash-nash Al-Quran tidak akan dapat dipahami dengan baik melalui pemahaman dari petunjuk-petunjuk bayan dan bahasa saja…namun yang pertama dan sebelum yang lainnya adalah dengan merasakan kehidupan dalam suasana sejarah pergerakan, dalam realita positif dan menghubungkannya dengan realita kehidupan nyata. Al-Quran tidak akan terbuka rahasianya melalui pandangan yang sangat jauh ini kecuali dalam wujud persesuaian realita sejarah…hingga akan tampak sentuhan-sentuhannya yang lestari, objektivitas yang terus menerus, namun bagi siapa yang bergerak dengan ajaran agama saja, bergelut dengannya seperti yang dilakukan ketika pertama kali ayat diturunkan pertama kali, menghadapi suasana dan keadaan seperti yang mereka hadapi. Dan tidak bisa diungkap rahasia Al-Quran dari “Al-Qoidun” orang-orang yang malas, hanya duduk-duduk tanpa usaha, yaitu mereka yang hanya membahas nash-nash Al-Quran dari segi bahasa dan bayan saja…merekalah yang disebut “al-Qoidun’. (Ad-Zhilal : 3 : 1453- Ringkasan)
Sesungguhnya Al-Quran memiliki tabiat pergerakan dan misi yang nyata, hidup dan bergerak, dari sini berarti Al-Quran tidak akan bisa dirasakan dan diperlakukan dengan baik kecuali bagi siapa yang bergerak secara benar dan pasti dalam realita…beliau berkata : “sesungguhnya Al-Quran tidak bisa dirasakan kecuali yang turun dan bergelut dalam kancah peperangan ini, bergerak seperti yang terjadi sebelumnya saat pertama kali diturunkan Al-Quran. Mereka yang tidak mendapatkan nilai-nilai dan petunjuk-petunjuk Al-Quran adalah “Qoidun” –malas-. Mempelajari Al-Quran dari segi bayan atau sekadar seni yang tidak dapat memiliki hakikat kebenaran sedikit pun dari hanya sekadar duduk, diam dan tenang, jauh dari kancah pertempuran dan jauh dari pergerakan…bahwa hakikat Al-Quran ini selamanya tidak akan dapat direngkuh oleh orang yang malas, bahwa rahasia yang terkandung di dalamnya tidak akan muncul bagi siapa yang terpengaruh dengan ketenteraman dan ketenangan beribadah kepada selain Allah, beragama untuk thagut selain Allah…(Ad-Zhilal : 4 : 1864)
pengertian di atas dikuatkan dengan pernyataan lainnya : “Demikianlah Al-Quran akan terus bergerak pada hari ini dan esok –masa mendatang- dalam memunculkan kebangkitan Islam, menggerakkannya dalam jalan dakwah yang terprogram”.
Gerakan ini tentunya butuh kepada Al-Quran yang memberikan ilham dan wahyu. Ilham dalam manhaj gerakan, konsep dan langkah-langkah, sedangkan wahyu mengarahkan konsep dan langkah tersebut jika dibutuhkan, dan memberi kekuatan bathin terhadap apa yang akan dihadapi di penghujung jalan.
Al-Quran –dalam persepsi ini- tidak hanya sekadar ayat-ayat yang dibaca untuk meminta berkah, namun di dalamnya berlimpah kehidupan yang selalu turun atas jamaah muslimah yang bergerak bersamanya, mengikuti arahan-arahannya, dan mengharap ganjaran dan janji Allah SWT.
Inilah yang kami maksud bahwa Al-Quran tidak akan terbuka rahasia-rahasianya kecuali bagi golongan muslim yang berinteraksi dengannya untuk merealisasikan petunjuk-petunjuknya di alam realita, bukan bagi mereka yang hanya sekadar membacanya untuk meminta berkah ! bukan bagi mereka yang membacanya hanya untuk belajar seni dan keilmuan, dan juga bukan bagi mereka yang hanya mempelajari dan membahas dalam bidang bayan saja !
Mereka semua sama sekali tidak akan mendapatkan dari Al-Quran sesuatu apapun, karena Al-Quran tidak diturunkan bukan untuk sekadar dipelajari dan dijadikan mata pelajaran namun sebagai pelajaran pergerakan dan taujih –pemberi petunjuk-..” (Fi Zhilal Al-Quran 4 : 1948)
Kita cukupkan cukilan yang memberikan wawasan untuk kita yang bersumber dari kitab Ad-Zhilal, bersegera memperbaiki pemahaman Al-Quran dan mentadabburinya, berinteraksi dengannya seputar teori pergerakan, menggunakan kunci-kunci yang memberi petunjuk dalam berinteraksi dan bertadabbur…karena yang demikian yang sesuai dengan tabiat dasar Al-Quran, karakteristiknya yang unik, ketahuilah yang demikian adalah “Realita pergerakan” sebagai kunci dalam berinteraksi dengan Al-Kitab yang mengagumkan dan mukjizat…
Kita tutup cukilan dengan paragraph yang ditulis oleh Sayyid Quthub, yang menjelaskan karakteristik dan menunjukkan kiat –kunci- teori ini, menuntun kepada system ini… di antara keistimewaannya bahwasanya yang demikian sebagai ringkasan pendapatnya, yaitu pendapat akhir sekali yang beliau tetapkan dan menjadi sebuah tonggak dan keyakinan, hakikat yang qot’i–tidak bisa ditawar-tawar lagi-…karena seperti yang beliau ungkapkan dalam pendahulunya adi surat Al-Hijr –dari cetakan yang sudah direvisi- yang ditulis sebelum dihukum mati beberapa hari –beberapa saat- !!
Beliau berkata : …”Karena itu gerakan Islam akan selalu berhadapan –yang menjadi kebutuhan dan tuntutan- setiap kali berulang masa ini (masa penghadangan dakwah Islam di Mekah antara tahun kesedihan dan Hijrah), seperti yang dihadapi gerakan Islam sekarang di era modern ini…
Kita berkeyakinan atas karakteristik Al-Quran ini …keunggulan realita pergerakan Islam…karena dalam pandangan kami hal tersebut merupakan kunci dalam berinteraksi, memahami, menguasai dengan Al-Quran dan mengetahui misi dan tujuannya.
Dan yang demikian harus disertai dengan keadaan, situasi, kondisi, kebutuhan, dan tuntutan realita amaliyah seperti saat diturunkannya dengan Al-Quran pertama kali…hal tersebut guna mengetahui arah tujuan nash dan aspek-aspek petunjuk-petunjuknya, meneropong ambisi nya yang selalu bergerak di tengah kehidupan yang berhadapan dengan realita sebagaimana makhluk hidup yang bergerak –berinteraksi dengannya atau berseberangan dengannya…pandangan ini merupakan perkara yang sangat urgen guna memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan merasakan kenikmatan bersamanya, sebagaimana ia juga sangat penting memanfaatkan petunjuk-petunjuknya setiap kali berulang suasana dan situasi di masa sejarah yang akan datang, khususnya zaman yang sedang kita hadapi saat ini, saat kita mengawali pergerakan dakwah Islam.
Pembaca Naskah Ini, Juga Membaca:
Tarbiyah Itu Melejitkan Potensi
Ada Apa dengan Ayat Kursi?
Bulan Muharram: Keutamaan, Legenda, Mitos, dan Bid’ah di Dalamnya
Mahasiswa Kedokteran di Inggris Boikot Kuliah tentang Teori Darwin Karena Bertentangan dengan Al-Qur’an
5 Amal Shalih di 10 Hari Pertama Dzulhijjah
Jalan Sang Dai: Lilin di tengah Gelap
Akses http://m.dakwatuna.com/ dimana saja melalui ponsel, Blackberry atau iPhone Anda.
23.45
Ikhwanul Muslimin Umumkan Kemenangan di Pemilu Mesir Putaran Ketiga
Senin, 09 Januari 2012
Afrika
9/1/2012 | 14 Shafar 1433 H | Hits: 805
Oleh: Tim dakwatuna.com
Ilustrasi (AFP)
dakwatuna.com – Kairo. Dua partai Islam Mesir mengatakan, berhasil meraih sekira 62,2 persen suara dalam pemilihan umum (pemilu) putaran ketiga yang berlangsung pada awal pekan lalu.
“Partai Kebebasan dan Keadilan berhasil meraih 35,2 persen suara dalam pemilu ketiga yang berlangsung pada hari Selasa dan Rabu. Jumlah perolehan suara tersebut diperoleh dari sembilan provinsi,” demikian disampaikan Partai Kebebasan dan Keadilan melalui situs resminya seperti dikutip AFP, Minggu, (8/1/2012).
Sementara itu, partai Islam konservatif Al-Nour mengatakan, pihaknya berhasil meraup 27 persen suara.
Jika tidak terjadi perubahan dalam jumlah suara, maka kedua partai Islam tersebut berhasil mempertahankan keunggulan mereka di pemilu putaran kedua.
Dalam pemilu putaran kedua, Ikhwanul Muslim melalui mesin politiknya, Partai Keadilan dan Kebebasan memenangkan dua pertiga suara atau sekira 36,3 persen sedangkan Partai Al-Nour meraih 28,8 persen suara.
Kawasan Semenanjung Sinai dikabarkan akan menyusul penyelenggaran pemilu tahap ketiga. Semenanjung Sinai yang terletak di sepanjang perbatasan Mesir dengan Israel dan Jalur Gaza membuat kawasan ini menjadi tidak kondusif.
Mesir masih akan melangsungkan pemilu ketiga putaran kedua pada akhir bulan Januari. Pemilu tersebut akan memperebutkan sepertiga kursi di parlemen. Dimulai dari 29 Januari, pemilu akan berlangsung untuk memilih anggota majelis tinggi.
Setelah parlemen baru terpilih, akan dibentuk sebuah komisi yang ditujukan untuk menyusun konstitusi baru sebelum pemilu presiden diadakan pada akhir Juni mendatang.
Pemilu demokratis pertama yang berlangsung di Mesir diwarnai oleh berbagai aksi bentrokan berdarah yang melibatkan pasukan pemerintah dan para demonstran. Pasca tumbangnya rezim Mubarak, Mesir diambil akih oleh pihak militer hingga pemilu presiden digelar pertengahan 2012 mendatang. Para demonstran menuntut militer segera mengakhiri kekuasaannya di Mesir. (rhs/oz)
9/1/2012 | 14 Shafar 1433 H | Hits: 805
Oleh: Tim dakwatuna.com
Ilustrasi (AFP)
dakwatuna.com – Kairo. Dua partai Islam Mesir mengatakan, berhasil meraih sekira 62,2 persen suara dalam pemilihan umum (pemilu) putaran ketiga yang berlangsung pada awal pekan lalu.
“Partai Kebebasan dan Keadilan berhasil meraih 35,2 persen suara dalam pemilu ketiga yang berlangsung pada hari Selasa dan Rabu. Jumlah perolehan suara tersebut diperoleh dari sembilan provinsi,” demikian disampaikan Partai Kebebasan dan Keadilan melalui situs resminya seperti dikutip AFP, Minggu, (8/1/2012).
Sementara itu, partai Islam konservatif Al-Nour mengatakan, pihaknya berhasil meraup 27 persen suara.
Jika tidak terjadi perubahan dalam jumlah suara, maka kedua partai Islam tersebut berhasil mempertahankan keunggulan mereka di pemilu putaran kedua.
Dalam pemilu putaran kedua, Ikhwanul Muslim melalui mesin politiknya, Partai Keadilan dan Kebebasan memenangkan dua pertiga suara atau sekira 36,3 persen sedangkan Partai Al-Nour meraih 28,8 persen suara.
Kawasan Semenanjung Sinai dikabarkan akan menyusul penyelenggaran pemilu tahap ketiga. Semenanjung Sinai yang terletak di sepanjang perbatasan Mesir dengan Israel dan Jalur Gaza membuat kawasan ini menjadi tidak kondusif.
Mesir masih akan melangsungkan pemilu ketiga putaran kedua pada akhir bulan Januari. Pemilu tersebut akan memperebutkan sepertiga kursi di parlemen. Dimulai dari 29 Januari, pemilu akan berlangsung untuk memilih anggota majelis tinggi.
Setelah parlemen baru terpilih, akan dibentuk sebuah komisi yang ditujukan untuk menyusun konstitusi baru sebelum pemilu presiden diadakan pada akhir Juni mendatang.
Pemilu demokratis pertama yang berlangsung di Mesir diwarnai oleh berbagai aksi bentrokan berdarah yang melibatkan pasukan pemerintah dan para demonstran. Pasca tumbangnya rezim Mubarak, Mesir diambil akih oleh pihak militer hingga pemilu presiden digelar pertengahan 2012 mendatang. Para demonstran menuntut militer segera mengakhiri kekuasaannya di Mesir. (rhs/oz)
Langganan:
Postingan (Atom)