Dalam tulisan ini, akan dipaparkan secara ringkas tapi padat -insya Allah- sifat-sifat ‘Ibaadurrahman (para hamba ar-Rahman), karakteristik, ciri-ciri mereka serta pahala besar yang Allah siapkan buat mereka di sisi-Nya agar orang yang ingin menjadi salah satu dari ‘Ibaadurrahman dapat memilikinya, meraih kehormatan beribadah dan menisbatkan diri kepada-Nya serta menggapai persaksian.
Adapun ayat yang mengoleksi semua sifat ‘Ibaadurrahman itu termuat dalam ayat 63 hingga 76, surat Al-Furqan. Dalam ayat-ayat tersebut, disebutkan sifat-sifat ‘Ibaadurrahman sebagai berikut:
1. Tawadhu’ (Rendah Hati)
Yaitu sebagaimana firman-Nya, artinya, “(ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati” [63]
Inilah sifat pertama ‘Ibaadurrahman, yaitu mereka berjalan di atas bumi dengan sangat enteng dan ringan, tidak dibuat-buat, tidak sombong atau pun melengos. Mereka tidak berjalan dengan sangat cepat yang menunjuk-kan sikap suka mengentengkan dan kasar, juga tidak berjalan dengan sangat pelan yang menunjukkan sifat malas dan kumal. Tetapi mereka berjalan dengan ringan, penuh dengan semangat, tekad, kelelakian dan jiwa muda. Mereka mengetahui betul wasiat Luqman kepada anaknya sebagaimana diinformasikan Rabbnya, artinya, “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan.” (QS.Luqman:19). Maksudnya adalah sedang-sedang saja dalam semua urusan, tidak berlebihan atau keterlaluan sekali.
‘Ibaadurrahman berjalan di pelosok bumi untuk mencari rizki dan tuntutan hidup dengan penuh kelembutan dalam batasan-batasan yang diperkenankan Allah subhanahu wata’ala kepada mereka, tidak rakus, tamak, menyia-nyiakan kewajiban, melakukan hal-hal yang diharamkan atau pun berbuat mubadzir. Tidak muncul dari mereka sikap keras, melecehkan, sombong, berbangga-bangga dan berbesar diri. Mereka tidak berbuat kerusakan di muka bumi, mencari ketinggian, lebih mendahulukan keuntungan duniawi yang fana, tidak berusaha semata hanya untuk mengumpulkan harta dan bersenang-senang dengan kenikmatan kehidupan duniawi.
Mereka juga rendah hati terhadap Allah subhanahu wata’ala, lembut dan ringan, tidak angkuh dan sombong. Mereka mendengar firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”
2. Lemah Lembut
Yaitu sebagaimana firman-Nya, artinya, “Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” [63]
Ini merupakan sifat ke dua ‘Ibaadurrahman, yaitu bila orang-orang jahil mengucapkan ucapan yang buruk, mereka tidak membalas dengan ucapan yang sama tetapi mema’afkan, tidak berkata kecuali yang baik, mereka tidak terpancing oleh kejahilan orang tersebut, tetapi menahan lisan dan emosi mereka.
Mereka memangkas jalan fitnah dan keburukan yang ingin dilakukan orang-orang jahil itu, memadamkan ‘kobaran’ kejahatan pertama yang andaikata dibalas dengan tindakan yang sama, pastilah apinya akan semakin menyala sehingga bisa menimbulkan perang besar dan kejahatan bergentayangan. Menurut mereka, kepah-lawanan bukanlah ditampakkan dengan postur badan yang kuat, berotot, dan mampu menang dalam pertarungan, tetapi kepahlawanan yang hakiki adalah menahan diri ketika marah.
Yang menjadi panutan mereka dalam hal ini adalah Nabi mereka, Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam yang merupakan manusia paling lemah lembut. Salah satu contohnya, “Ketika ada seorang Arab Badui yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallamdan berkata kasar, lalu kaum Muslimin marah dan ingin memberinya pelajaran, namun hal itu dicegah oleh beliau. Beliau membalas sikap kasar itu dengan kasih sayang dan lemah lembut.” (Hadits Muttafaqun ‘alaih)
3. Melakukan Qiyamullail
Yaitu sebagaimana firman-Nya, artinya, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” [64]
Allah subhanahu wata’ala menyebut para hamba-Nya sebagai orang yang mencintai malam hari dengan melakukan ibadah. Mereka bangun saat orang-orang sedang terlelap tidur, waspada saat orang-orang lengah, sibuk menyong-song Rabb mereka, menggantungkan jiwa dan anggota badan mereka kepada-Nya. Saat orang-orang terlena dan merasa mantap dengan kehidupan duniawi, mereka justeru menginginkan ‘Arsy ar-Rahman sebab mereka mengetahui bahwa ibadah di kegelapan malam dapat menjauhkan mereka dari sifat riya’ dan minta dipuji. Ibadah di malam hari juga membangkitkan kebahagiaan di hati dan ketenangan bagi jiwa serta penerangan bagi penglihatan mereka.
Saat berdiri di hadapan Allah subhanahu wata’ala dan mengarahkan wajah mereka kepada-Nya, mereka merasakan kelezatan dan kebahagiaan yang tiada tara serta kenikmatan yang tak terkira. Tiada lagi rasa manis setelah manisnya beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, bermesra, dan melakukan kontak dengan-Nya. Melakukan Qiyamullail merupakan sifat asli ‘Ibaadurrahman. Allah subhanahu wata’ala menyebut mereka dengan sifat itu dalam banyak ayat dan menganjurkan para Nabi-Nya untuk melakukan hal itu.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, “Hendak-lah kamu melakukan Qiyamullail sebab ia adalah tradisi orang-orang shalih sebelum kamu, bentuk pendekatan kepada Rabb kamu, penghenti dosa, penebus dosa-dosa kecil dan pengusir penyakit dari badan.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi yang dinilai Hasan oleh Syaikh al-Albani)
4. Takut Api Neraka
Sebagaimana firman-Nya, artinya, “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasan yang kekal.”[65] Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.” [66]
Sekalipun ‘Ibaadurrahman sangat ta’at dan hati mereka dipenuhi dengan ketakwaan namun mereka selalu merasa amalan dan ibadah mereka masih kurang. Mereka tidak melihat hal itu sebagai jaminan dan pemberi rasa aman dari api neraka bila saja tidak mendapatkan curahan karunia dan rahmat-Nya yang dengannya mereka terhindar dari adzab Jahannam. Karena itu, mereka selalu terlihat takut, cemas dan khawatir dengan adzab Jahannam.
Mereka selalu memohon kepada Allah agar Dia menghindarkan mereka dari adzab Jahannam seluruhnya, baik adzab yang dirasakan penghuni abadinya atau pun penghuni semen-taranya. Inilah sifat setiap Mukmin yang bersungguh-sungguh dalam berbuat ta’at dan takut akan adzab Allah subhanahu wata’ala sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya yang lain, “Dan orang-orang yang takut terhadap azab Rabbnya. Karena sesungguhnya azab Rabb mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya).” (QS. Al-Ma’arij: 27, 28)
5. Ekonomis Dalam Pengeluaran dan Tidak Boros
Sebagaimana firman-Nya, artinya, “Dan orang-orang yang apabila membe-lanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” [67]
‘Ibaadurrahman bukanlah orang-orang yang berbuat mubadzir, membelanjakan harta melewati batas keperluan sebab mereka mengetahui benar bahwa boros akan merusak jiwa dan harta. Orang-orang yang berbuat mubadzir adalah saudara-saudara syetan. Syetan selalu menyuruh berbuat keji dan munkar. Mereka juga mengetahui bahwa mereka bertang-gung jawab di hadapan Allah subhanahu wata’ala terhadap harta mereka; dari mana mereka peroleh dan kepada siapa mereka infakkan.
Mereka juga tidak pernah kikir terhadap diri sendiri dan keluarga mereka, dalam arti teledor memberikan hak mereka dan tidak berinfaq untuk hal yang telah diwajibkan Allah subhanahu wata’ala, sebab mereka mengetahui bahwa Allah subhanahu wata’ala telah mencela kekikiran dan sifat bakhil. Jiwa nan suci menilai buruk sifat bakhil dan menghindari pelakunya.
Metode berinfaq ‘Ibaadurrahman adalah moderat dan menengah, antara bakhil dan boros. Mereka berada di puncak pertengahan antara boros dan bakhil. Mereka meletakkan ayat Allah subhanahu wata’ala berikut di hadapan mata mereka, artinya, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’:29)
Yakni janganlah kamu bakhil, sehingga tidak mau memberi sesuatu kepada siapa pun dan janganlah pula boros dalam mengeluarkan harta, sehingga memberi di atas kemampuanmu dan mengeluarkannya melebihi pendapatanmu.
6. Ikhlash Beribadah Karena Allah subhanahu wata’ala
Sebagaimana firman-Nya, “Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah.” [68]
Di antara sifat ‘Ibaadurrahman, mereka tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah subhanahu wata’ala, sebab mereka mengimani bahwa hanya Allah subhanahu wata’ala semata yang dapat memberikan manfa’at dan menolak mudharat. Tidak seorang pun di dunia ini, baik ia seorang raja yang disanjung, nabi yang diutus atau pun hamba yang shalih yang mampu memberikan manfa’at untuk dirinya atau pun menolak mudha-rat darinya, apalagi untuk membantu orang lain. Karena itu, mereka tidak pernah menyekutukan sesuatu pun beserta Allah, baik dalam berdo’a atau bentuk-bentuk ibadah lainnya.
Mereka mengetahui benar, bahwa tiada Khaliq, tiada Pemberi rizki, tiada yang dapat menghidupkan dan mematikan, tiada yang dapat menyembuhkan, dan tiada yang dapat mengelola alam semesta ini selain Allah subhanahu wata’ala. Mereka mengetahui benar bahwa andaikata seluruh manusia dan jin bergabung untuk memberikan manfa’at kepada seseorang, maka mereka tidak dapat melakukannya kecuali sesuatu yang telah dicatatkan Allah subhanahu wata’ala untuknya dan andaikata mereka bergabung untuk menimpakan bahaya kepada seseorang, maka mereka tidak dapat melakukannya kecuali sesuatu yang telah dicatatkan Allah subhanahu wata’ala terhadapnya.
7. Tidak Melakukan Pembunuhan
Sebagaimana firman-Nya, “Dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar…[68]”
Sifat ke tujuh ‘Ibaadurrahman adalah mereka tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya sekali pun ada dorongan untuk itu kecuali dengan alasan yang benar, yang diperintahkan Allah subhanahu wata’ala atau diizinkan-Nya seperti hukuman Hadd, Qishash atau perang untuk meninggikan kalimat Allah. Sebab mereka mengetahui bahwa membunuh jiwa tanpa alasan yang benar merupakan salah satu dosa besar yang pelakunya mendapatkan ancaman dari Allah subhanahu wata’ala dengan siksaan yang sangat pedih.
Dia berfirman, artinya, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnnya dan Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan ultimatum terhadap pembunuhan jiwa seorang mukmin dengan sengaja saat bersabda, “Setiap dosa, semoga saja diampuni Allah kecuali orang yang mati dalam keadaan Musyrik atau membunuh seorang Mukmin dengan sengaja.” (HR. Abu Daud, dinilai Shahih oleh Syaikh al-Albani).
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada dibunuhnya seorang Mukmin dengan tanpa haq (alasan yang tidak benar).” (HR.Ibnu Majah, dinilai Shahih oleh Syaikh al-Albani)
8. Menjauhi Perbuatan Zina
Sebagaimana firman-Nya, “Dan tidak berzina [68]”
Di antara sifat ‘Ibaadurrahman adalah tidak melakukan zina dan selalu menjaga kemaluan mereka dari setiap perbuatan yang mengundang murka Rabb sebab mereka mengetahui benar bahwa zina merupakan dosa yang besar.
‘Ibaadurrahman telah memenuhi panggilan Rabb mereka yang berbunyi, “Dan janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Mereka pun tunduk dengan hal itu, yaitu berhenti melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Mereka adalah seperti yang disebutkan sifatnya oleh Allah subhanahu wata’ala, “Dan orang-orang yang menja-ga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orag-orang yang melampaui batas.” (QS.al-Mu’minun: 5-7)
Bila mereka melakukan salah satu dari tiga perbuatan maksiat ini (syirik, membunuh atau berzina), karena kelemahan mereka sebagai manusia, mereka segera kembali kepada Rabb mereka dengan penuh rasa penyesalan, meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat itu dan melakukan amal shalih yang diridhai Allah subhanahu wata’ala. (QS. Al-Furqan: 68-70).
9. Menjauhi Persaksian Palsu
Sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu… [72]”
Sesungguhnya ‘Ibaadurrahman tidak memberikan persaksian palsu sebab tindakan itu menghilangkan hak-hak, membantu perbuatan zhalim dan mengubah arah kebenaran. Mereka juga selalu menghindar dari suatu majlis yang terindikasi kepalsuan dengan segala jenis dan warnanya sebab mereka merasa tinggi hati sehingga tidak mungkin menghadiri majlis-majlis seperti itu.
Mereka menyadari betul bahwa persaksian palsu merupakan jenis dusta yang serius, amat buruk dan berakibat fatal. Sangat besar bahayanya bagi seluruh masyarakat karena perbuatan itu menjungkirbalikkan fakta dan membantu kezhaliman.
Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan darinya berulang kali serta menilainya sebagai salah satu dosa besar. Beliau bersabda, “Maukah aku beritahukan kepada kamu mengenai dosa yang paling besar?” (beliau mengulang tiga kali). Kami berkata, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah, durhaka terhadap kedua orangtua.” Beliau ketika itu bertelekan lalu duduk seraya bersabda lagi, “Jauhilah perkataan palsu dan persaksian palsu.” Beliau terus mengulang-ulangnya hingga kami sampai berkata, “Semoga saja beliau diam.” (Muttafaqun ‘alaih).
10. Berpaling dari Mengerjakan Perbuatan-Perbuatan yang Tidak Berfaedah
Sebagaimana firman-Nya, artinya, “Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” [72]
Sifat ‘Ibaadurrahman lainnya adalah tidak mau berlama-lama berdiri dengan ucapan dan perbuatan yang tidak berfaedah, tidak menyibukkan diri dan mengotorinya dengan mendengarkan hal itu. Mereka justru memuliakannya dengan cara tidak mendengar, melihat, dan ikut serta dalam hal itu.
Mereka tidak memiliki waktu untuk melakukan kegiatan yang sia-sia dan tidak bermanfa’at. Mereka sangat memperhatikan usia dan waktu, sehingga mereka merasa bersalah jika waktu itu hilang secara percuma tanpa dimanfa’atkan untuk mendapatkan pahala di sisi Rabb.
11. Memenuhi Perintah Allah subhanahu wata’ala
Sebagaimana firman-Nya, artinya, “Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapi nya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” [73]
Bila diperingatkan dan diberi wejangan, mereka cepat sekali meresponsnya dan mengambil pelajaran. Hati mereka sangat terbuka terhadap ayat-ayat Allah subhanahu wata’ala, menerimanya dengan pemahaman dan menjadikan-nya sebagai pelajaran. Bila datang kepada mereka perintah Allah dan Rasul-Nya, mereka cepat-cepat melak-sanakannya dan menyatakan ketunduk-an dengan bersimpuh sujud kepada Allah subhanahu wata’ala seraya berdzikir, bertasbih memuji-Nya dan tidak menyombong-kan diri. (QS. As-Sajdah: 15-16)
Mereka tidaklah seperti orang yang bila diperingatkan dengan ayat-ayat Allah lantas berpaling dan tidak memberikan perhatian, mendengarkan dan melihatnya untuk kepentingan dirinya. Bahkan justeru menyibukkan dirinya tersebut dengan urusan-urusan duniawi, kenikmatan dan hawa nafsu. Golongan seperti ini, Allah subhanahu wata’ala sebutkan sifatnya dalam firman-Nya, artinya,
“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat dari Rabbnya lalu dia berpaling daripadanya dan melupakan apa yang dikerjakan oleh kedua tangannya. Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi: 57)
12. Mendo’akan Kebaikan bagi Keluarga dan Keturunan
Sebagaimana firman-Nya, artinya, “Dan orang-orang yang berkata, “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” [74]
‘Ibaadurrahman tidak merasa cukup hanya dengan diam seraya bersujud dan melakukan qiyamullail serta memiliki semua sifat-sifat terdahulu. Mereka bahkan selalu memohon kepada Rabb agar dianugerahi keturunan yang berjalan sesuai dengan cara hidup mereka, memiliki pasangan setaraf mereka, sehingga membuat mata mereka sejuk, hati mereka me-rasa tenang dan jumlah ‘Ibaadurrahman bertambah. Mereka juga mengharapkan Rabb menganugerahkan takwa kepada mereka dan menjadikan mereka para pemimpin yang dipanuti dalam berbuat kebajikan.
Mereka memohon kepada Rabb sesuatu yang paling berkesan di dalam kehidupan di dunia ini yaitu isteri dan keturunan serta memohon tingkatan keimanan paling tinggi yang dapat mempersiapkan mereka meraih bilik-bilik nan tinggi di surga yang penuh kenikmatan, yaitu tingkatan ‘takwa.
Balasan Bagi ‘Ibaadurrahman
Rabb menutup ayat-ayat yang menghitung sifat-sifat ‘Ibaadurrahman dengan penjelasan sebagian balasan buat mereka. Firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya.” [75] “Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.”[76]
Di bilik-bilik surga itu mereka duduk, di atas permadani-permadani itu mereka bersandar, di bawah naungannya itu, mereka berjalan dan di dalamnya mereka mendapatkan kenikmatan. Itu semua sebagai balasan atas kesabaran mereka dalam menghadapi hawa nafsu, godaan-godaan dunia dan dorongan-dorongan nista serta kesabaran mereka dalam melakukan perbuatan ta’at dan meninggalkan kemungkaran.
Saudaraku! Sebagai penutup, pintu ‘pendaftaran’ sebagai ‘Ibaadurrahman terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi salah satu dari mereka dan bekerja untuk merealisasikannya.
sumber: http://www.alsofwah.or.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar